Tantangan Paket Data Penganut Smartphone-Only
Sangat banyak aplikasi yang dijajakan di toko-toko aplikasi. Dari yang gratis hingga berbayar semua ada di Apple App Store, Google Play, Amazon Appstore, Windows Store, hingga BlackBerry World.
Ada 2,2 juta aplikasi yang dijajakan Apple App Store. Google Play Store punya 3,3 juta aplikasi dengan berbagai tema dan kebutuhan. Dari jutaan aplikasi itu, tak semuanya sukses dipakai. Firma analisis Adeven pada 2012 lalu mencatat 60 persen aplikasi yang tersedia di Apple App Store tak pernah dipakai para pemilik iPhone.
Baca juga: Aplikasi Mobile yang Melampaui Batas
Tentu saja ada banyak juga aplikasi yang sukses. Google dan Facebook adalah dua perusahaan yang memiliki beberapa aplikasi dengan pengguna lebih dari 1 miliar. Google sebagai pemilik Android menyumbang 7 aplikasi seperti Chrome dan Google Maps. Sedangkan Facebook menyusul dengan aplikasi. WhatsApp adalah satu salah satu aplikasi itu.
Bagi korporasi besar seperti Google, memiliki pengguna sebanyak 1 miliar tentu belum memuaskan bila mengacu jumlah penduduk di planet Bumi yang mencapai sekitar 7,4 miliar orang. Data Internet World Stats menyebut bahwa penetrasi pengguna internet dunia masih berada di angka 51,7 persen populasi dunia.
Baca juga: Internet yang Semakin Penting Menopang Perekonomian Negara
Caesar Sengupta, VP Product Management Google, menyebut bahwa Indonesia, India, Filipina, serta Brazil merupakan negara-negara utama yang berpotensi menyumbang tambahan pengguna terbesar bagi aplikasi-aplikasi bikinan Google. Ini sesuai dengan data yang Internet World Stats, penetrasi internet di Asia masih 46,7 persen, artinya berpotensi besar menambah pangsa pasar aplikasi mobile yang memerlukan ponsel pintar untuk berinternet.
Namun perlu diingat, di negara-negara tersebut internet diakses terutama hanya menggunakan smartphone. Istilah umumnya dikenal dengan sebutan smartphone-only.
Data yang dirilis Quartz, menyatakan bahwa tiga dari empat negara yang disebutkan Sengupta memang terbukti mengutamakan smartphone sebagai medium pengakses internet. India merupakan negeri dengan persentase pengakses internet via ponsel pintar terbesar dunia. Di sana 79 persen pengakses internet menggunakan ponsel pintar. Indonesia berada di peringkat kedua dengan persentase sebanyak 72,3 persen. Terakhir, ada Brazil di posisi ke-13 dengan 30,7 persen. Filipina, tak masuk hitungan diduga karena jumlah penduduknya yang tak sebesar India, Indonesia, maupun Brazil.
Artinya, pengguna internet smartphone-only terbukti sangat besar dalam segi jumlah. Selain itu, penetrasi internet yang masih sedikit di negara-negara tersebut, diprediksi bakalan meningkat dalam beberapa tahun mendatang. Ini artinya jumlah pengakses internet bakalan semakin banyak serta memampukan korporasi seperti Google dan Facebook mendulang jumlah pengguna yang jauh lebih besar lagi.
Namun, para pengakses internet yang hanya memanfaatkan smartphone itu punya masalah. Masalah utama dan paling memprihatinkan ialah mengenai paket mobile data.
Baca juga: Semakin Tergantung pada Internet, Semakin Anda Boros Data
Sengupta bahkan mengatakan terdapat empat tantangan terkait mobile data: membingungkan, sulit dikendalikan, mahal, dan adanya rasa tak pernah cukup.
“Data mobile hari ini bisa sangat membingungkan. Hari ini mayoritas orang Indonesia adalah pengguna prabayar, (mereka) rutin melakukan top-up (untuk memperoleh koneksi internet). 500 MB apa artinya? 5 video, 1 jam browsing. Tidak ada yang tahu pasti apa gunanya. (Namun) ini jelas merupakan sumber daya yang mahal. Yang harus (rutin) mereka keluarkan (biayanya) dan pikirkan (digunakan untuk apa),” ucap Sengupta.
“Mobile data terkadang merupakan sesuatu yang sulit dikontrol. Saya bertemu orang di Bandung, (ia bilang) telpon saya menjilati data (seperti es krim),” lanjutnya menerangkan.
Dalam paparannya, Sengupna menerangkan bahwa di negara-negara seperti Indonesia dan India, mengakali tantangan soal data tersebut, pengguna smartphone punya cara-cara kreatif. Cara tersebut antara lain: mengaktifkan mode pesawat, penjadwalan, merasionalkan pemakaian, hingga memilih paket-paket khusus yang disediakan provider. Paket chatting, misalnya.
Tentu saja, cara-cara kreatif tersebut jelas-jelas mengekang para pengguna internet smartphone-only sendiri. Mengaktifkan mode pesawat misalnya. Ini tentu saja mengakibatkan para pengguna tersebut tak terhubung dengan dunia internet secara real-time. Ataupun penggunaan paket chatting. Mereka menjadi tak bisa berkreasi dengan internet di luar aplikasi chatting.
Bagi perusahaan seperti Google maupun Facebook, cara-cara kreatif masyarakat demikian tak bisa dimaafkan. Mereka harus membaur dengan kenyataan bahwa mobile data merupakan suatu barang mahal di negara-negara tersebut.
Untuk meningkatkan jumlah pengguna dan mempertahankan pengguna yang telah ada para korporasi internet tersebut kemudian merilis aplikasi-aplikasi versi irit data.
Baca juga: Berharap dari Layanan WiFi Gratis
Google meluncurkan YouTube Go, versi irit data menonton YouTube. Facebook meluncurkan Facebook Lite, versi ramah data serta ramah jaringan (terutama 2G). Bahkan dalam Facebook Lite, ada tawaran kuota gratis untuk mengakses media sosial tersebut.
“Kami memulai YouTube offline (dan kemudian Youtube Go) di India dan Indonesia, dan pengguna di seluruh dunia bilang ‘ini baik juga untuk kami, kenapa tidak diberikan juga pada kami?’ Peta (offline) pun sama,” terang Sengupta mencontohkan salah satu strategi Google mengatasi permasalahan data.
Selain merilis versi-versi irit data, kini pun lazim ditemui fitur offline bagi aplikasi-aplikasi populer. Google Maps memiliki fitur offline. Bagi pengguna yang ingin melakukan perjalanan, ia bisa lebih dahulu mengunduh peta tujuannya.
Selain dua nama itu, korporasi lainnya pun mengekor di belakang. Line, aplikasi pesan instan asal Korea Selatan misalnya. Mereka meluncurkan Line Lite. Versi irit data pesan instan tersebut.
Adaptasi terkait mobile data yang dilakukan korporasi internet memang merupakan sesuatu yang patut dilakukan. Ini guna mengakomodasi pihak-pihak yang kesulitan memperoleh data. Tak bisa dipungkiri, data sudah seperti bensin hari ini. Data merupakan sesuatu yang penting tapi memiliki harga yang tidak bisa dibilang murah.
Jika ingin menggaet lebih banyak pengguna serta mempertahankan yang telah ada, korporasi internet patut segera berdamai dengan kenyataan ini.
Baca juga artikel terkait INTERNET atau tulisan menarik lainnya Ahmad Zaenudin