Tanpa Ide dan Daya Kreasi, Manchester United Tak Ubahnya Zombi
Ini, tak lain dan tak bukan, adalah sebuah ketakutan yang melanda kaum revolusioner kapan pun, di mana pun. Yakni, ketakutan bahwa perubahan yang dilakukan hanya terjadi di permukaan dan tidak menyentuh akar. Tak ubahnya orang-orang malas yang menyapu kotoran ke bawah karpet, inilah Manchester United-nya Jose Mourinho.
Sudahkah Manchester United berubah? Sudah. Dalam pertandingan-pertandingan termutahirnya, Romelu Lukaku dan Alexis Sanchez sudah tak lagi bermukim di tempat yang seharusnya mereka huni saja. Lebih dari itu, mereka bereksplorasi, bergerak ke sana-sini untuk mencari cara dan ruang untuk menggedor blokade musuh.Lalu, sudahkah cara itu berhasil? Sudah juga. Kemenangan atas Chelsea dan Liverpool adalah bukti nyata keberhasilan dari permutasi pemain yang sebelum-sebelumnya tak pernah tampak. Akan tetapi, hasil yang mereka dapat di dua laga itu sebenarnya mengkhianati proses. Atau, mungkin lebih pas jika dikatakan bahwa hasil itu mengkhianati esensi bermain sepak bola itu sendiri.
Ini bukan soal cara bermain yang indah dan mewah seperti tim-tim asuhan Pep Guardiola. Ini adalah soal ide dasar bermain sepak bola itu sendiri. Yakni, bahwa sepak bola adalah olahraga tim dan apa yang dilakukan United ketika menang menghadapi Chelsea dan Liverpool, bahkan Crystal Palace, adalah hasil kerja individu.
Lukaku memenangkan United atas Chelsea dan Liverpool. Lewat kemauannya bermain lebih ke dalam dan menjadi target untuk bola-bola panjang kiriman David de Gea, Lukaku membuka celah untuk Marcus Rashford yang dengan nyaman bisa menceploskan bola ke gawang Loris Karius. Sebelumnya, di laga menghadapi Chelsea, Lukaku bergerak menyamping untuk memberi assist pada Jesse Lingard setelah sebelumnya dia juga mencetak gol penyama kedudukan.
Lalu, di laga melawan Crystal Palace, siapa lagi kalau bukan Nemanja Matic, dengan tendangan spektakulernya itu, yang menjadi pahlawan? Selain itu, Lukaku juga laik diganjar pujian lantaran gol penyama kedudukannya membuat United mampu menemukan ritme baru untuk menundukkan 'Elang-elang London' di kandangnya.
Ya, United sudah berubah. Namun, perubahan yang mereka lakukan baru sebatas perubahan individual semata. Secara sistem, mereka masih amburadul. Ah, jangankan amburadul. Ada sistem yang jelas atau tidak juga tidak ada yang tahu pasti.
Mungkin Jose Mourinho melihat ini sebagai sebuah sistem, tapi rasanya, kok, muskil. United bertahan dengan rapat lewat pertahanan zonal yang diejawantahkan lewat penempatan dua lapis pemain di area pertahanan. Two banks of four, kalau kata orang Inggris, meski pada praktiknya dalam satu bank tidak cuma ada four; bisa kurang bisa lebih. Dari sana, mereka menyerap serangan lawan kemudian menyerang balik via kecepatan dan skill individual para pemainnya.
Well, ya, itu terlihat dan terdengar sebagai sebuah sistem. Namun, ayolah. Bukannya skill individual itu tidak penting dalam sepak bola, tetapi aplikasinya tidak demikian juga. Ini Manchester United yang dilatih Mourinho. Pemain-pemain mereka berharga dan digaji mahal. Sang manajer pun setali tiga uang. Apakah tidak menghina akal sehat namanya jika strategi bermain FIFA orang-orang awam itu disebut sebagai sistem?
Secara definisi saja, sistem itu sudah cacat. Mana ada sistem yang membiarkan individu-individu berbuat sekenanya tanpa aturan? Itu bukan sistem. Itu anarki --dalam artian sempit, tentunya. Well, mungkin itu semua bisa dimaklumi apabila tim yang dilatih Mourinho adalah tim kecil dengan pemain semenjana dan dana pas-pasan. Akan tetapi, tidak untuk tim yang sudah membelanjakan duit 300 juta poundsterling dalam dua musim. Tidak.
Bukti paling jelas bagaimana sistem ini sebenarnya tidak pantas disebut sistem adalah tingginya angka kehilangan bola mereka, baik secara tim maupun individual. Dalam lima pertandingan terakhir, rata-rata United kehilangan bola 13 kali. Rinciannya: 13 kali di laga tandang melawan Sevilla, 14 kali saat menjamu Chelsea, 15 kali saat bertandang ke markas Palace, 10 kali tatkala didatangi Liverpool, dan 13 kali ketika dikalahkan Sevilla di Old Trafford.
Dari sana, ada dua pemain yang jumlah kehilangan bolanya demikian menonjol. Mereka adalah Rashford dan Sanchez. Rashford kehilangan bola enam kali saat United berhadapan dengan Sevilla di Old Trafford. Sementara, Alexis bahkan sampai 8 kali kehilangan bola saat United menundukkan Palace. Ini belum termasuk kala Alexis kehilangan bola 4 kali di laga tandang melawan Sevilla.
Artinya, dari situ terlihat bahwa ketika seorang pemain sampai sebegitu banyak kehilangan bola, si pemain itu bisa jadi, pertama, punya kualitas yang luar biasa buruk atau kedua, terlalu sering digunakan untuk jadi outlet serangan tunggal. Karena menyebut Rashford dan Alexis sebagai pemain yang luar biasa buruk itu mustahil, maka jawaban yang lebih mungkin adalah yang kedua.
Lalu, apakah Mourinho memang pantas disalahkan untuk ini? Apakah para pemain kemudian lantas bersih dari dosa? Ya, tentu saja. Mourinho adalah manajernya dan apa yang ditampilkan para pemain United di lapangan adalah buah pikir sang manajer. Ketika United tampil tanpa ide, berarti Mourinho juga kehabisan ide.
Bukan cuma soal ide, soal pergerakan di bursa transfer juga Mourinho punya dosa. Pada laga melawan Sevilla di Old Trafford, lini tengah United diacak-acak oleh seorang Ever Banega. Pemain seperti Banega inilah yang tidak dimiliki United. Seorang pembawa dan pembagi bola yang bisa menciptakan sesuatu dari ketiadaan. Seorang kreator yang mampu setidaknya meringankan beban sang manajer dalam memikirkan seperti apa seharusnya sebuah tim bermain.
Saat Tottenham Hotspur ditangani Harry Redknapp, Rafael van der Vaart penah berkisah bahwa dirinya --bersama Luka Modric sebagai kreator ganda-- tak pernah diberi instruksi taktikal apa-apa. Namun, hasil yang didapat The Lilywhites kala itu cukup bagus untuk ukuran tim yang tidak punya taktik. Mereka bahkan kala itu mampu menjejak babak perempat final Liga Champions.
Tentu saja apa yang dilakukan Redknapp itu juga haram dilakukan di Manchester United. Redknapp kala itu beruntung bisa memiliki pemain macam Van der Vaart dan Modric. Tanpa mereka berdua, mustahil sosok seperti Redknapp bisa sampai delapan besar Liga Champions.
Nah, tetapi apa yang dicapai Redknapp itu juga seharusnya bisa menjadi pelajaran bahwa di mana pun, di liga apa pun, di tim apa pun, keberadaan seorang kreator adalah hal yang tak bisa ditawar. Usangnya ide bermain Mourinho plus ketiadaan kreator membuat Manchester United jadi seperti zombi. Ia ada, mampu berjalan, tetapi tak bernyawa.
Tanpa ide dan daya kreasi itu, perubahan yang dilakukan di lini depan lewat Lukaku dan Alexis tadi jadi sia-sia. Pasalnya, siapa yang akan menyerahkan bola ke mereka dan bagaimana bola akan diserahkan itulah yang menjadi masalah. Percuma saja Lukaku atau Alexis melakukan pergerakan tanpa bola yang bagus tetapi bola yang diterima justru tidak bagus.
Lukaku sendiri sudah mengeluhkan hal itu lewat pernyataannya selepas laga. Kepada BT Sport, dia berkata, "Kami sebenarnya selalu berada di posisi yang tepat, tetapi umpan kami tidak bagus dan itulah yang membunuh kami."
Maka, sebuah perubahan fundamental perlu dilakukan Manchester United. Cara paling mudah, tentunya, membeli seorang kreator yang bisa membuat aliran bola lebih lancar. Namun, cara yang benar agar United bisa kembali berjaya adalah menendang Mourinho dan membajak Pep Guardiola (atau pelatih-pelatih sejenisnya) ke Old Trafford.