Sejarah Paskah Yahudi dan Bedanya dengan Paskah Kristen
Paskah. Apa yang ada di pikiran anda ketika mendengar kata itu? Kelinci? Telur? Sebagian besar masyarakat Indonesia mengenal Paskah adalah hari raya bagi umat Kristen untuk memperingati kebangkitan Yesus.
Begitu pula yang saya pahami ketika SD. Ketika ada tanggal merah pada hari Jumat sekitar bulan Maret atau April bertuliskan “Wafat Isa Almasih” di kalender, kira-kira guru saya akan mengatakan, “Hari Jumat sampai Minggu kita libur Paskah.”
Secara historis hari Paskah sudah dirayakan oleh pemeluk agama Yahudi sejak sekitar tahun 1300 Sebelum Masehi (SM), sedangkan Isa Almasih atau Yesus lahir sekitar tahun 7 sampai 6 SM.
Menurut catatan Ensiklopedia Britannica, orang Ibrani memaknai Paskah sebagai peringatan pembebasan bangsa Israil dari tanah Mesir. Seperti ditulis oleh Vox, kisah Paskah dimulai ketika Firaun, sang penguasa Mesir, khawatir jika ledakan penduduk Yahudi di Mesir akan melebihi jumlah bangsanya sendiri. Untuk mengantisipasinya, bangsa Ibrani Kuno dipaksa menjadi budak. Tak hanya itu, setiap anak yang lahir dari bangsa Ibrani pun harus ditenggelamkan di Sungai Nil.
Di Alkitab, kisah Paskah Yahudi terekam dalam Kitab Keluaran. Dalam kitab tersebut, Musa adalah orang yang membantu proses pelarian bangsa Ibrani. Namun, baik dalam ayat-ayat Alkitab maupun rujukan lainnya, tak pernah disebutkan siapa Firaun yang berkuasa pada zaman itu, sebab penguasa Mesir selanjutnya tak biasa mencatat kekalahan.
Desember 2018, National Geographic mempublikasikan artikel berjudul “We may now know which Egyptian pharaoh challenged Moses” yang berusaha mengidentifikasi raja Mesir yang berkuasa pada zaman tersebut.
Di antara sekian perdebatan tentang identitas Firaun dalam cerita Musa, banyak peneliti menduga bahwa Firaun yang bertakhta saat itu adalah Raja Ramses II. Menurut catatan dalam Kitab Keluaran (1:11), bangsa Israel dipekerjakan untuk mendirikan kota-kota pertahanan perang bagi Firaun, yakni Pitom dan Raamses, yang kemudian disebut Pi-Ramesses dan Per Atum.
Tradisi Paskah Yahudi
Sehari sebelum Paskah, anak sulung laki-laki akan berpuasa sebagai bentuk peringatan atas selamatnya mereka dari pembunuhan anak sulung pada zaman Firaun.
Setelah itu, seperti dilansir Time, orang Yahudi biasa merayakan Paskah dengan mengadakan Seder, yakni sebuah upacara perjamuan makan disertai doa, minum anggur, bernyanyi, membahas masalah keadilan sosial saat ini, dan kisah-kisah keluaran yang ditulis dalam kitab bernama Haggadah.
Di perjamuan itu, ada beberapa sajian yang menjadi simbol Paskah yang dihidangkan, misalnya roasted shank bone sebagai simbol pengorbanan Paskah, telur yang mewakili musim semi dan lingkaran kehidupan, sayuran pahit sebagai tanda getirnya perbudakan, haroset yang melambangkan mortir yang digunakan oleh orang-orang Yahudi di Mesir, serta karpa yang menggambarkan musim semi.
Tak hanya itu, dalam Seder, mereka juga menyertakan tiga potong matzah, sebuah kudapan mirip biskuit yang mewakili roti yang dibawa orang Israel saat meninggalkan Mesir, dan air garam sebagai simbol air mata para budak.
Tradisi Paskah Yahudi juga termuat dalam Alkitab, yakni di Keluaran 12 yang menyebutkan bahwa orang Yahudi harus merayakan pembebasan dengan memakan daging domba atau kambing jantan yang dipanggang, makan roti tidak beragi dan sayuran pahit.
Mereka pun diwajibkan makan roti tidak beragi selama tujuh hari lamanya. Selama perayaan itu, tidak boleh ada ragi di dalam rumah.
Penentuan hari Paskah juga tertuang dalam Alkitab (Keluaran 12:18), “Dalam bulan pertama, pada hari yang keempat belas bulan itu pada waktu petang, kamu makanlah roti yang tidak beragi, sampai kepada hari yang kedua puluh satu bulan itu, pada waktu petang.”
Dalam kalender Ibrani, bulan pertama adalah bulan Nissan, yang biasanya jatuh di sekitar Maret-April dalam kalender Gregorian.
Paskah Yahudi dan Kebangkitan Yesus
Ada banyak perdebatan yang muncul ketika mengaitkan Paskah Yahudi dengan perayaan Paskah orang Kristen tentang kematian Yesus. Rabbi Danya Ruttenberg pernah mengulasnya dalam sebuah artikel yang diterbitkan Washington Post.
Anda mungkin pernah mendengar cerita tentang Perjamuan Terakhir (The Last Supper), sebuah kisah tentang perjamuan Yesus bersama dengan dua belas pengikutnya yang tertuang dalam lukisan karya Leonardo da Vinci. Dalam Kitab Matius, Markus, dan Lukas, perjamuan yang dilakukan Yesus itu merupakan hari pertama perayaan Paskah.
Namun Ruttenberg tak meyakini kisah tersebut. Sebab, biasanya pada malam pertama Paskah orang hanya memakan korban Paskah, yakni seekor domba yang sudah disembelih di bait suci dan kemudian dipanggang lalu disajikan di rumah.
Sampai sekarang, kebenaran dari peristiwa itu memang masih diperdebatkan. Di Asia Kecil, orang-orang Kristen menganggap hari Penyaliban Yesus adalah hari yang sama ketika orang Yahudi merayakan Paskah, dan peristiwa kebangkitan terjadi dua hari setelahnya. Namun dalam catatan Ensiklopedi Britannica, masyarakat Barat merayakan Kebangkitan Yesus pada hari Minggu pertama ketika Yesus bangkit dari kematian.
Pada tahun 325 diselenggarakan Konsili Nikea I, sebuah pertemuan dewan ekumenis pertama dari gereja yang dihimpunkan oleh Kaisar Romawi Konstantin I. Dalam pertemuan itu, para pemuka gereja membahas keseragaman tanggal Paskah. Keputusannya: Paskah umat Kristen dirayakan pada hari Minggu pertama setelah bulan purnama pertama setelah ekuinoks musim semi (21 Maret), sehingga Paskah bisa jatuh pada hari Minggu antara 22 Maret hingga 25 April.
Seperti pernah diulas Tirto sebelumnya, karena penetapannya bergantung pada bulan purnama, maka Hari Paskah Kristen jatuh di tanggal yang berbeda setiap tahun, sedangkan Paskah Yahudi tetap dirayakan pada hari keempat belas bulan Nissan (kalender Ibrani) dan dirayakan selama delapan hari.
Baca juga artikel terkait PASKAH atau tulisan menarik lainnya Widia Primastika