Sejarah Festival Film Indonesia: Enam Dekade Saksi Pasang Surut
Festival Film Indonesia kembali digelar. Tahun ini, Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak masuk dalam catatan sejarah film nasional sebagai pemenang kategori Film Terbaik. Film arahan sutradara Mouly Surya ini juga memenangkan beberapa penghargaan untuk kategori lainnya.
Dari 22 kategori yang diperebutkan, film yang dibintangi Marsha Timothy ini berhasil memenangkan 10 kategori, yakni Sutradara Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, Pengarah Sinematografi Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik, Penata Musik Terbaik, Penata Suara Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, Pengarah Artistik Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik.
Kategori lainnya dimenangkan oleh Love for Sale (Pemeran Utama Pria Terbaik), Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 (Penata Efek Visual Terbaik, Penata Busana Terbaik, dan Penata Rias Terbaik), Aruna dan Lidahnya (Penulis Skenario Adaptasi Terbaik dan Pemeran Pendukung Pria Terbaik), Sekala Niskala (Pemeran Anak Terbaik), Kulari ke Pantai (Pencipta Lagu Tema Terbaik), Si Juki The Movie (Film Animasi Terbaik), Kado (Film Pendek Terbaik), Nyanyian Akar Rumput (Film Dokumenter Panjang Terbaik), dan Rising from Silence (Film Dokumenter Pendek Terbaik).
Festival Film Indonesia 2018 merupakan edisi ke-38 semenjak dimulai untuk pertama kali pada 1955. Kala itu Djamaluddin Malik pendiri Persari (Perseroan Artis Indonesia) dan Usmar Ismail pendiri Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) adalah pemrakarsanya.
Batal ke Tokyo, Bikin Sendiri
Saat Festival Film Asia Pasifik digelar pertama kali pada 1954 di Tokyo, Indonesia berniat untuk turut serta. Tapi lantaran ketegangan antara pemerintah Indonesia dan Jepang soal pampasan perang, akhirnya batal ikut.“Kita baru beberapa tahun saja berusaha bikin film yang mendingan, sudah mau beradu di ajang Asia dengan Jepang dan negeri lain yang sudah maju. Langkah besar ini jauh di luar daya khayal orang film masa itu,” tulis Misbach Yusa Biran dalam memoarnya, Kenang-kenangan Orang Bandel (2008).
Djamaluddin Malik sebagai penggagas rencana keikutsertaan Indonesia dalam Festival Film Asia Pasifik bersama Usmar Ismail akhirnya menggelar Festival Film Indonesia pada 30 Maret-5 April 1955 di Jakarta.
Edisi perdana ini diikuti 12 film, yakni Harimau Tjampa (Perfini), Krisis (Perfini), Lewat Djam Malam (Perfini dan Persari), Tarmina (Persari), Antara Tugas dan Tjinta (PFN), Pulang (PFN), Rentjong dan Surat (GAF Sang Saka), Djakarta di Waktu Malam (Tan & Wong), Burung Merpati (Canary), Rela (Garuda), Debu Revolusi (Ratu Asia), dan Belenggu Masjarakat (Raksi Seni).
Perhelatan pertama kali ini dimeriahkan pawai artis pada 30 Maret 1955 yang dimulai dan berakhir di gedung olahraga di sekitar lapangan Monas. Rute yang dilalui pawai ini, tulis S.M. Ardan dalam Setengah Abad Festival Film Indonesia (2004), meliputi Merdeka Selatan, Merdeka Barat, Segara (Veteran) III, Pecenongan, Krekot, Gunung Sahari, Senen, Salemba, Jalan RSCM, Metropole, dan Cikini.
“Kemeriahan itu berlanjut dengan pemutaran film-film pilihan di Metropole dan Chatay. Malam pembukaan di Metropole dibuka resmi oleh Menteri Penerangan, dr. F.L. Tobing,” imbuh Ardan.
Ketika para pemenang diumumkan, terjadi pro dan kontra karena beberapa kategori diraih oleh lebih dari satu pemenang. Kategori Film Terbaik dimenangkan Lewat Djam Malam dan Tarmina. Begitu pula kategori Pemeran Utama Pria Terbaik yang diraih A.N. Alcaff (Lewat Djam Malam) dan Abd. Hadi (Tarmina). Sementara Pemeran Utama Wanita Terbaik dimenangkan Dhalia (Lewat Djam Malam) dan Fifi Young (Tarmina).
Dominasi kemenangan Lewat Djam Malam dan Tarmina lantas tertuju kepada dua penggagas festival dan orang di balik film-film tersebut, yakni Djamaluddin Malik dan Usmar Ismail. Namun, tudingan paling kencang ditujukan kepada Djamaluddin Malik yang dianggap tidak hanya sebagai penggagas festival, tapi juga sebagai cukong alias penyandang dana festival.
“Terlihat juga dari direbutnya gelar sutradara terbaik oleh Lilik Sudjio (Tarmina), bukan oleh Usmar Ismail (Lewat Djam Malam),” tulis Ardan menegaskan bahwa gelaran Festival Film Indonesia edisi perdana ini memang seakan-akan untuk menyenangkan Djamaluddin Malik.
Pasang Surut (Festival) Film Indonesia
Sebelum Festival Film Indonesia yang pertama digelar, produksi film Indonesia dari tahun ke tahun sedang mengalami peningkatan. Dari semula hanya 8 film yang diproduksi pada 1949 menjadi 65 pada 1955. Namun, pada tahun-tahun berikutnya justru mengalami penurunan. Warsa 1956 hanya 36 film yang diproduksi, lalu 1957 turun menjadi 21 film, dan pada 1958 hanya 16 film.
Kondisi turunnya produksi film nasional karena serbuan film impor, baik dari Hollywood, Malaysia, maupun India. Para produser dan artis sempat melakukan protes dengan aksi mogok produksi dan mendesak kepada pemerintah untuk membatasi impor film asing karena hampir semua pintu masuknya di bawah kewenangan pemerintah.
“Pada 1950-an itu urusan pengimporan bahan baku dan peralatan di bawah Kementerian Perdagangan, urusan film impor di bawah [Kementerian] Keuangan, sensor di bawah [Kementerian] Pendidikan & Kebudayaan, bioskop di bawah [Kementerian] Dalam Negeri, dan Produksi Film Negara di bawah [Kementerian] Penerangan,” tulis S.M. Ardan.
Desakan ini akhirnya membuat pemerintah setuju untuk membatasi impor film asing. Persoalan ini sempat berlarut-larut, yang menyebabkan Festival Film Indonesia absen selama empat tahun dan baru digelar kembali pada 21-26 Februari 1960. Saat itu panggung politik nasional tengah dikuasai Partai Komunis Indonesia.
PKI pun kemudian berupaya menguasai panggung kesenian dan perfilman. Ini terlihat pada film yang memenangkan kategori Film Terbaik, yakni Turang karya sutradara Bachtiar Siagian. Lelaki kelahiran Binjai ini merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan yang dianggap dekat dengan PKI.
Setelah 1960, Festival Film Indonesia lagi-lagi vakum selama enam tahun dan baru digelar lagi pada 9-16 Agustus 1967. Pergelaran kali itu pun tanpa ada pemenang kategori Film Terbaik.
Perhelatan Festival Film Indonesia memang selalu dipengaruhi turun naiknya produksi film nasional. Pada 1964 produksi film nasional hanya 20, lalu terus merosot sampai pada titik terendah pada 1968 yang hanya memproduksi 8 film.
Memasuki 1970-an, produksinya baru naik lagi. Pada 1970 ada 21 film yang diproduksi, lalu 1971 berjumlah 52 film, dan meraih capaian tinggi pada 1974 dengan 84 film.
Mulai 1973, Festival Film Indonesia digelar lagi dan dilaksanakan setiap tahun tanpa jeda sampai akhirnya terhenti pada 1992 karena produksi film nasional lagi-lagi mengalami kelesuan.
Setelah Orde Baru tumbang, para sineas muda mulai menghidupkan lagi perfilman nasional. Di tengah gempuran film Hollywood yang bahkan sampai sekarang masih berjalan, mereka berani membuat film dan menghidupkan lagi Festival Film Indonesia pada 2004.
Namun, semangat baru ini bukan tanpa kontroversi. Pada 2006 sempat terjadi kegaduhan karena film Ekskul—yang dianggap melakukan penjiplakan pada tata musiknya—meraih penghargaan sebagai Film Terbaik. Sejumlah peraih Piala Citra ramai-ramai mengembalikan pialanya sebagai bentuk protes atas kemenangan kontroversial tersebut. Akhirnya kemenangan Ekskul dibatalkan.
Jejak Sejarah Menyingkap Tirai Kabut
Pada 30 November 1900, seperti dikutip Adrian Jonathan Pasaribu dan kawan-kawan dalam Merayakan Film Nasional (2017), surat kabar Bintang Betawi memuat iklan:
“De Nederlandsch Bioscope Maatschapij (Maatschapij Gambar Idoep) memberi tahoe bahoewa lagi sedikit hari ija nanti kasi liat tontonan amat bagoes, jaitoe gamabr-gambar idoep dari banjak hal jang belom lama telah kejadian di Europa dan di Afrika Selatan…”
Lalu pada 4 Desember 1900, muncul lagi iklan serupa di surat kabar yang sama. Isinya menyebutkan bahwa mulai 5 Desember 1900, Pertoenjoekan Besar jang Pertama di Hindia Belanda akan berlangsung tiap malam.
Peristiwa pemutaran film pada 5 Desember 1900 itu banyak disebut sebagai mula hadirnya film di Indonesia. Padahal menurut Pasaribu dan kawan-kawan, warga Jakarta telah “menonton film” di lapangan Gambir saat seorang Belanda bernama Talbot mempertontonkan rangkaian gambar animasi sederhana buatannya.
“Bangunan bioskop itu menyerupai bangsal dengan dinding gedek (bilik bambu) dan beratapkan seng. Seusai masa pemutaran, Talbot membawanya berpindah-pindah ke tempat lain,” tulis Pasaribu dan kawan-kawan.
Tak disebutkan tahun berapa Talbot menggelar filmnya. Tapi yang pasti, pemutaran film secara komersial dipertontonkan pertama kali pada 14 April 1894 di Broadway, New York City saat Holland bersaudara membuka Kinetoscope Parlor.
Jika dibandingkan dengan pemutaran perdana film komersial ini, kedatangan film di Indonesia seperti yang tertera pada iklan di surat kabar Bintang Betawi tersebut terhitung sangat cepat, hanya berbeda enam tahun. Namun, jika dilihat dalam konteks film nasional, perkembangannya justru terlambat.
Saat membahas film di Indonesia sebagai salah satu pengaruh Barat, Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 1: Batas-batas Pembaratan (2018) bahkan membedakannya dengan bidang lain seperti sastra dan musik yang juga dipengaruhi budaya Barat.
“Mengenai ‘seni baru’ ini, masalah kami terbalik, bukan berapa jauh efek suatu pengaruh, melainkan sejauh mana orang Indonesia menguasainya dan sejak kapan mereka mampu memproduksi film asli,” tulisnya.
Menurut Lombard, penayangan pertama film buatan Cina dari Shanghai di Batavia terjadi pada 1924 dan film pertama produksi Hindia Belanda, yakni Loetoeng Kasaroeng baru diproduksi pada 1926 oleh Film Company de Heuveldop Kruger.
Ia menambahkan, di Jepang adegan-adegan kabuki (seni teater tradisional khas Jepang) sudah difilmkan pada 1899, dan pada 1924 studio-studio di Kyoto sudah memproduksi 875 film. Sementara di Cina, teknik pembuatan film masuk pada 1903, dan pada 1925 studio-studio di Shanghai telah memproduksi lima puluhan film serta 80 film pada 1927. Di India, produksi berjumlah 63 film pada 1921/1922, dan 108 film pada 1926/1927.
“Tampak bahwa sementara Indonesia baru menemukan dasar-dasar perfilman, negeri-negeri besar tetangganya telah memiliki industri sinematografi yang mantap,” imbuhnya.
Seturut dengan perhelatan Festival Film Indonesia yang pertama pada era 1950-an, Lombard menyatakan bahwa di era itulah perfilman Indonesia asli baru benar-benar dimulai. Sementara tahun-tahun sebelumnya hanya diproduksi orang-orang Belanda dan Cina, seperti Nyai Dasima (1929), Melati van Agam (1930) Paréh (1934), dan Lima Siloeman Tikus (1935).
Jika awal 1950-an dijadikan sebagai batu tapal perfilman Indonesia, artinya kita belum genap 70 tahun dalam menjejaki industri gambar hidup ini. Angka ini bisa dibilang cukup lama atau sebaliknya, yang jelas perfilman Indonesia sejak masa kelahirannya terus mengalami pasang-surut.
Pada masa awal, atau Lombard menyebutnya sebagai “nyala yang singkat”, ia mencatat bahwa perfilman Indonesia telah berhasil melahirkan gaya orisinal. Gaya ini diwakili sejumlah sutradara, seperti Asrul Sani lewat Pagar Kawat Berduri dan Tauhid, Djajakusuma lewat Lahirnja Gatotkatja, dan beberapa sutradara Lekra seperti Kotot Sukardi (Si Pintjang, 1952) dan Bachtiar Siagian (Badja Membara, 1961).
Artinya, sungguhpun perfilman Indonesia senantiasa diterpa gejolak yang seolah-olah tak berkesudahan, juga pasang-surut yang terus-menerus, tapi tetap ada sejumlah pencapaian yang memberi sumbangan berarti bagi perkembangannya. Sejak beberapa tahun ke belakang hingga saat ini, misalnya, film-film Indonesia sudah sering hadir dalam pelbagai festival film internasional. Di dalam negeri, jumlah penonton pun terus meningkat.
Dalam hamparan narasi selama enam dekade ini, barangkali perfilman Indonesia ibarat sepenggal lirik “Citra”, lagu gubahan Cornel Simanjuntak dan Usmar Ismail. Lagu yang judulnya dijadikan nama piala Festival Film Indonesia sejak 1967 ini berbunyi:
“Citra, engkaulah bayangan/Waktu Subuh mendatang/Citra, kau gelisah malam/Dalam kabut suram
Kau dekap malam kelam/Pelukan penghabisan/Kau singkap tirai kabut/Dan selubung”
Baca juga artikel terkait FESTIVAL FILM INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Irfan Teguh