Rumah Sakit Jiwa Kolonial: Cara Belanda Karantina Pribumi Ngamuk
Laporan mendalam Tirto lima hari lau pada 6 Mei 2019 menunjukkan layanan kesehatan jiwa di Indonesia berada dalam kondisi krisis. Musababnya ternyata berasal dari defisit dokter spesialis dan minimnya fasilitas penunjang.
Kekurangan tenaga dan fasilitas di sektor kesehatan jiwa sudah menjadi urusan pelik sejak masa kolonial. Kala itu tidak semua lapisan masyarakat Hindia Belanda dapat mengakses layanan pengobatan penyakit jiwa yang layak. Kalaupun ada pribumi yang menghuni bangsal rumah sakit, mereka adalah pribumi yang dikarantina lantaran dikhawatirkan mengamuk.
Menurut Dr. Denny Thong dalam Memanusiakan Manusia Menata Jiwa Membangun Bangsa (2011: 31), perkembangan perawatan kesehatan jiwa di Indonesia mengikuti perkembangan yang ada di Belanda. Praktik pengobatan jiwa di negeri kincir angin sendiri baru dimulai pada 1830. Sebagaimana kondisi tersebut, praktik kedokteran jiwa di Hindia Belanda baru dikenal umum pada 1831.
Awalnya Hanya untuk Orang Eropa
Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008) menuturkan, setelah berakhirnya Perang Jawa (1825-1830) perhatian pemerintah kolonial tertuju untuk memompa keuntungan ekonomi dari wilayah koloni melalui sistem tanam paksa (hlm. 260). Di saat bersamaan, orang-orang kulit putih dari benua Eropa turut berdatangan ke Hindia Belanda untuk bekerja di industri perkebunan.Kedatangan pihak-pihak swasta di negara koloni lantas mendorong upaya perbaikan layanan kesehatan, khususnya bagi orang Eropa. Layanan kesehatan yang dimaksud meliputi kesehatan jasmani dan kesehatan jiwa.
Sayangnya, fasilitas kesehatan jiwa di Hindia Belanda kala itu masih jauh dari cukup. Baik sarana khusus penderita gangguan jiwa maupun tenaga spesialis hanya tersedia di rumah sakit militer dan lebih banyak ditujukan untuk merawat prajurit Belanda yang terkena Post-Traumatic Stress Disorder pasca-Perang Jawa. Kondisi yang demikian berlarut hingga 1831.
Merujuk kembali pada catatan Thong, pemerintah kolonial baru mencetuskan tonggak pertama layanan kesehatan jiwa di tahun 1831. Melalui Resolusi 21 Mei 1831, No.1, Pasal 1, pemerintah menganjurkan setiap rumah sakit di distrik-distrik koloni di Batavia, Semarang, dan Surabaya untuk menyediakan kamar khusus untuk merawat pasien penderita gangguan jiwa.
Menjelang pertengahan abad ke-19, metode perawatan pasien gangguan jiwa menunjukan kemajuan. Layanan kesehatan jiwa mulai dibangun semirip mungkin dengan kondisi di Eropa. Menurut Thong, metode ilmiah untuk merawat pasien gangguan jiwa pertama kali diberlakukan di bangsal rumah sakit militer di Semarang sekitar tahun 1848.
Menurut Sebastiaan Broere, peneliti asal Belanda yang pernah menulis sejarah rumah sakit jiwa di Magelang, pemerintah Belanda pada hakikatnya hanya memikirkan kebutuhan dari kalangan mereka sendiri saat mulai membangun fasilitas perawatan penyakit jiwa di bangsal-bangsal rumah sakit.
“Kebanyakan orang Belanda tidak memiliki teman atau jaringan sosial saat pertama kali tiba di Hindia Belanda. Itu menjadi masalah, karena pasti ada seseorang yang sakit [jiwa]. Untuk menanggulangi masalah tersebut maka dibentuklah sebuah institusi kesehatan jiwa untuk mereka,” kata Broere ketika ditemui reporter Tirto, Jumat (10/5/2019).
“Pemerintah sendiri merasa kesulitan karena banyak tentara yang mengalami gangguan jiwa. Mengkoloni sebuah wilayah bukanlah hal yang menyenangkan. Kolonisasi penuh dengan kekerasan dan itu tidak baik bagi kesehatan jiwa,” lanjutnya.
Reformasi Rumah Sakit Jiwa
Menurut Broere, ada perbedaan mendasar perihal layanan kesehatan jiwa sebelum dan sesudah paruh kedua abad ke-19. Selain rumah sakit militer, bangsal-bangsal rawat bagi penderita gangguan jiwa yang sudah ada sejak 1830-an semata-mata dipergunakan untuk memperoleh uang.
“Sebelum tahun 1860-an tidak ada layanan kesehatan jiwa lain yang secara khusus dikelola pemerintah. Ruang rawat pagi penderita gangguan jiwa hanya terdapat di beberapa rumah sakit swasta, salah satunya rumah sakit Cina,” tutur Broere.
Sementara itu, orang-orang pribumi di pedesaan lebih banyak menggunakan jasa dukun. Seiring waktu, pengobatan dukun dinilai tidak efektif oleh pemerintah kolonial karena kondisi pasien tak kunjung membaik. Pada akhirnya banyak penderita gangguan jiwa dari kalangan pribumi yang dibiarkan berkeliaran, mengamuk, dan berakhir di pemasungan.
Kondisi tersebut menimbulkan penilaian negatif dari orang-orang Eropa yang semakin banyak mendiami Hindia Belanda di pengujung abad ke-19. Tak hanya itu, pemerintah kolonial juga khawatir orang-orang Eropa sewaktu-waktu dapat dibunuh oleh penderita gangguan jiwa dari kalangan petani atau buruh perkebunan yang mengamuk lantaran dipaksa bekerja. Maka timbullah tekad untuk "memberadabkan" kaum pribumi melalui layanan kesehatan jiwa yang layak.
Pendapat Broere didukung catatan Thong mengenai laporan dari kantor karesiden di Batavia dan Semarang yang menunjukkan ada peningkatan penderita gangguan jiwa sejak 1862. Selain itu, Thong juga mencatat bahwa hanya dalam kurun 10 tahun penderita gangguan jiwa yang ditampung di rumah sakit Cina di Batavia melonjak dari 123 menjadi 921 orang.
Untuk menanggulangi krisis kejiwaan masyarakat Hindia Belanda, pemerintah mengutus dua orang dokter Belanda guna melakukan penelitian. Mereka adalah A.M. Smit dan F.H. Bauer. Melalui serangkaian sensus, Smit dan Bauer mencoba memperkirakan jumlah penderita gangguan jiwa dari kalangan pribumi di Jawa. Menurut laporan yang dikeluarkan pada 1868, terdapat sekitar 550 orang penderita yang diperlakukan dengan cara menyedihkan, ada yang ditelantarkan dan ada yang dipasung.
Selain melakukan penelitian, Smit juga pernah dikirim ke Utrecht, Belanda untuk mempelajari cara-cara perawatan penderita gangguan jiwa yang dapat diterapkan di Hindia Belanda. Sementara Bauer mendapat tugas lain mempelajari adat istiadat masyarakat pribumi agar dapat menemukan metode penanganan khusus.
Data-data yang dihimpun Smit dan Bauer, catat Thong, lantas dijadikan acuan Pemerintah Kolonial untuk membangun fasilitas khusus penderita gangguan jiwa yang pertama di Jawa. Berdasarkan Surat Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 30 Desember 1865 No.100 dan keputusan Gubernur Jenderal Pieter Mijer tanggal 13 Mei 1867, dibangunlah rumah sakit jiwa yang pertama di Buitenzorg (Bogor) pada 1882 dengan Bauer sebagai direktur pertama.
Selanjutnya, sepanjang 1889 hingga awal abad ke-20, rumah sakit jiwa terus bermunculan di Hindia Belanda. Selain Jawa, pemerintah juga membangun fasilitas serupa di Sabang, Makassar, Manado, Medan, Padang, Bali dan beberapa daerah di Kalimantan.
Nasib Pasien Pribumi
Sebastiaan Broere kembali menjelaskan, pelayanan kesehatan jiwa di Hindia Belanda masih diwarnai ketidaksetaraan. RSJ di Bogor pada awalnya juga hanya menerima pasien dari kalangan Eropa. Adapun bangsal kesehatan bagi kalangan pribumi baru dibangun belakangan.
Keterbatasan fasilitas kesehatan jiwa bagi pribumi lantas menjadi masalah. Memasuki tahun 1900, kira-kira hanya ada 500 tempat tidur yang disediakan bagi kalangan pribumi. Jumlah ini tentu saja sangat kurang.
Peningkatan jumlah pasien RSJ pada 1900 dipengaruhi kepindahan para penghuni penjara yang terindikasi kurang sehat jiwanya ke bangsal rumah sakit. Sebelum mendapat tempat di rumah sakit, mereka ditampung secara cuma-cuma oleh pemerintah di sebuah tempat bernama doorgangshuizen (rawat perantara) ketimbang dibiarkan berkeliaran.
Penjelasan serupa juga sempat diutarakan Denny Thong. Menurutnya, fasilitas rawat perantara merupakan metode yang banyak dipergunakan bagi pasien pribumi yang berasal dari pengadilan. Mereka biasanya ditangkap di daerah masing-masing untuk untuk diadili, hingga tiba saatnya ditentukan akan ditempatkan di penjara, rawat perantara, atau rumah sakit jiwa. Jumlah mereka yang sangat banyak mengakibatkan bangsal rumah sakit selalu penuh sesak.
Sebelum dimasukan ke RSJ, ada kalanya juga para pasien pribumi dikumpulkan ke dalam sistem penampungan yang disebut Koloni Orang Sakit Jiwa. Dalam Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid I (1975: 48) dijelaskan bahwa koloni ini pertama kali didirikan pemerintah pada 1919. Kemudian meluas ke berbagai daerah seperti Solo, Semarang, dan Surabaya.
Akibat keterbatasan tempat dan biaya, pasien pribumi harus mau ditempatkan dalam kondisi ala kadarnya. Kendati demikian, mereka tidak kekurangan. Sesekali mereka dikumpulkan untuk menjalani terapi bekerja sebagai ganti biaya perawatan rumah sakit.
“Terapi bekerja bagi pribumi dinilai sangat efektif dan murah. Mereka membuat perabotan, memperbaiki baju sesama pasien, dijemur di bawah terik untuk menggarap sawah untuk kebutuhan pangan penghuni rumah sakit. Semua jenis pekerjaan dianggap sebagai pekerjaan sehari-hari mereka,” kata Broere.
Tulisan Hans Pols bertajuk “The Psychiatrist as Administrator: The Career of W. F. Theunissen in the Dutch East Indies” yang dimuat dalam jurnal Health and History (Vol. 14, No. 1, 2012) memperjelas kondisi tersebut. Ia menyebut dari sekian ribu pasien yang dirawat di RSJ Sumber Porong di Malang tahun 1930, hanya 200 orang yang mampu membayar biaya pengobatan.
Dibandingkan nasib pasien pribumi, kondisi orang-orang Eropa di dalam RSJ jauh lebih baik. Ada perlakuan khusus yang mereka terima sebagai imbalan biaya rumah sakit yang telah dibayar penuh. Layaknya pribumi, orang-orang Eropa juga mendapat pekerjaan kendati tidak pernah diberi pekerjaan di luar ruangan. Tidak heran jika kesembuhan kelompok ini jauh lebih terjamin.
Baca juga artikel terkait RUMAH SAKIT JIWA atau tulisan menarik lainnya Indira Ardanareswari