Robin Hood: Sebuah Kegagalan Mendekonstruksi Ikon Klasik
Sederet aktor muda mengikuti audisi untuk memerankan Robin di film terbaru sutradara Otto Barhurst. Dari Jack Huston, Jack Reynor, Dylan O’Brien, hingga Nicholas Hoult. Tapi Barhusrt tidak bisa lepas dari pesona Taron Egerton, hingga akhirnya aktor asal Inggris itulah yang dipilih menjadi bintang utama di Robin Hood (2018).
Film ini diproyeksikan sebagai “origin” alias perkenalan soal bagaimana seorang Robin berubah status dari seorang bangsawan menjadi pahlawan rakyat kecil. Jejaknya bisa ditelusuri jauh saat ia ikut rombongan tentara Salib berperang hingga jauh ke wilayah kekuasaan tentara Arab.
Robin tergolong prajurit paling piawai memanah. Ia mampu menahan gempuran lawan yang memakai alat pemanah jumbo, dan menghasilkan tembakan yang intensitasnya setara dengan serbuan senapan otomatis.
Di akhir pertempuran tentara Salib menang. Teknik interogasinya kepada sisa prajurit lawan tergolong berlebihan. Mereka memancung tentara yang tak mau memberi tahu strategi, analisis kekuatan tempur, atau pos-pos perang. Di satu adegan, Robin berupaya menyelamatkan anak seorang prajurit lawan yang akan dipancung. Ia iba dengan sang ayah yang memohon agar dirinya saja yang dibunuh. Usahanya gagal. Si anak tetap dieksekusi.
Meski demikian, sikap Robin dipandang sebagai alasan yang kuat bagi si ayah untuk menyelinap ke kapal tentara Salib dan ikut Robin pulang ke Nottingham, Inggris.
Terdengar klise? Lebih tepatnya rapuh. Penonton tidak diberi alasan yang lebih kuat mengapa seorang tentara Arab mau untuk hijrah ke kampung halaman musuh hanya karena satu aksi kebaikan. Robin pun terkejut dengan saat tiba-tiba didatangi si tentara Arab, yang kemudian ia ketahui bernama Yahya alias John (Jamie Foxx) itu.
Entah dapat wangsit dari mana, John memberi penjelasan yang makin bikin dahi kian berkerut. Ia ingin melatih Robin agar terampil memanah sehingga punya kekuatan yang cukup untuk mengalahkan Sherriff of Nottingham—penguasa zalim yang membebani rakyat dengan pajak super tinggi, dan dipakai untuk membiayai perang sekaligus kehidupan glamor elite politik Nottingham.
Tapi, di momentum itu, Robin belum jadi bangsawan yang pro-rakyat kecil. Ia masih dalam tahap marah-marah sebab Sherrif of Nottingham (Ben Mendelsohn) ternyata telah menyita tanahnya, membakar rumahnya, dan menyebar rumor bahwa Robin sudah mati dalam peperangan sejak dua tahun yang lalu.
Rumor tersebut membuat belahan jiwanya, Marian (Eve Hewson—ya, putri rupawan Bono U2), menjalin hubungan baru dengan aktivis-pro-rakyat-tapi-berjiwa-politisi bernama Will Scarlet (Jamie Dornan). Balas dendam lah yang menggerakkan Robin. Ia ingin menghancurkan status quo Sherrif, si biang konflik.
John, lagi-lagi secara mengejutkan, mencoba jadi motivator. Ia mengingatkan Robin bahwa amarah itu seharusnya bukan diarahkan untuk balas dendam, tapi juga demi kemaslahatan orang banyak. Mengingat status bangsawannya, seharusnya Robin tidak serta-merta mengiyakan saran itu. Tapi, barangkali demi efisiensi cerita film, Robin langsung bersepakat.
Robin berlatih keras di bawah bimbingan John. Usai dinyatakan “lulus”, si pemanah ulung yang kini bernama belakang “Hood” menjalankan tindak pencurian pertamanya. Hasilnya tidak langsung diberikan ke kaum miskin, sebab niatan awalnya memang hanya ingin melihat musuhnya bangkrut.
Tindak bagi-bagi duit baru ia laksanakan setelah menguping obrolan Marian dan koleganya, di tengah-tengah kegiatan Marian membagi makanan gratis untuk kaum papa. Robin tetap menjadi bangsawan untuk membangun jaringan di lingkaran elite, sementara di waktu lain ia menjadi panggasak duit pajak.
Hubungan Robin dan John yang tidak memiliki pondasi yang solid, alasan-alasan ganjil para tokoh dalam memutuskan sesuatu, adalah dua dari sekian alasan mengapa film ini tidak nyaman ditonton.
Sejak trailer film pertama kali ditayangkan di kanal Youtube, saya dihantui oleh satu pertanyaan: “siapa yang berharap Robin Hood difilmkan lagi setelah sosoknya muncul di hampir 80-an film layar lebar, film animasi, serial televisi, hingga serial animasi?”
Warga dunia seharusnya sudah bosan. Sejak masa pra-produksinya di tahun 2015, rumah produksi Appian Way Productions (kepunyaan Leonardo di Caprio) menyebut film ini akan bernuansa gelap. Inspirasi utamanya adalah trilogi The Dark Knight, proyek dekonstruksi Batman ala Christopher Nolan.
Nolan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya: membangun cerita panjang yang koheren tentang kelahiran sekaligus dekonstruksi simbol heroik yang melekat pada diri Batman. Ia memperdalam pemahaman kita tentang makna "identitas rahasia" seorang superhero.
Trilogi The Dark Knight tidak memerlukan penjelasan verbal perihal niat dekonstruksi itu. Sedangkan Robin Hood sedari awal memakai narator yang bersuara dengan nada dramatis, “Lupakan sejarah yang selama ini kau ketahui…”.
Baik. Saya kemudian menghapus citra sekaligus kisah Robin Hood di kepala. Tapi, selama dua jam ke depan, ujung-ujungnya saya disuguhi citra sekaligus kisah Robin yang selaras dengan pakem klasiknya.
Dalam The Dark Knight, Nolan menciptakan tokoh protagonis dan antagonis dengan landasan idealisme yang jelas. Batman menimbun hasrat akan ketertiban, sementara Joker mewakili “chaos”.
Robin digambarkan tidak memegang asal-usul sikap yang solid yang membuat ia mau menjadi pahlawan bagi rakyat jelata—kecuali rasa cintanya pada Marian. Sherrif of Nottingham dan elite jahat yang berkongsi dengannya juga dideskripsikan sebagai penjahat pada umumnya: hedonis yang haus akan harta dan tahta.
Di mana letak dekonstruksinya? Film ini tidak menawarkan kebaruan apapun selain sweater khas Inggris, jaket necis, tata rias sempurna, dan gaya rambut ala warga urban-modern, serupa tampilan para pemeran The Hunger Games (2012). Sutradara Otto Bathurst sebenarnya punya kans cukup baik. Reputasinya dibangun dengan menyutradarai episode pertama Black Mirror dan tiga episode pertama Peaky Blinders. Kedua serial itu sukses mendapat tempat di hati penonton maupun kritikus.
Kesalahan fatal si produser barangkali karena menyewa Joby Harold sebagai penulis naskah. Harold mengumumkan naskah ketiga film ini pada 26 Februari 2015, di samping dua naskah lain yang sedang digarap oleh Disney dengan judul Nottingham & Hood dan oleh Sony dengan judul Hood.
Persoalannya, Joby adalah penulis naskah film King Arthur: The Legend of the Sword, salah satu film paling merugi pada 2017. Selain dihajar ulasan negatif oleh banyak kritikus, Deadline Hollywood menghitung kerugian studio hingga sebesar 153,2 juta dolar. Robin Hood amat potensial untuk berakhir sebagai kegagalan yang sama di tahun ini. Padahal Lionsgate telah menjadikanya sebagai prioritas utama sejak tiga tahun lalu.
Demi kesepatakan agar Taron Egerton tetap memerankan Robin, misalnya, Lionsgate sampai menunda jadwal produksi film hingga Taron menyelesaikan syuting Kingsman: The Golden Circle.
Robin Hood mengingatkan saya pada adaptasi kesekian novel Ben-Hur: A Tale of the Christ yang diberi judul Ben Hur (2016): tidak berkesan dan mudah dilupakan orang-orang di masa yang akan datang, meski mengandung tokoh serta cerita yang ikonik sekalipun.
Baca juga artikel terkait ROBIN HOOD atau tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan