Mitos dan Fakta tentang Kertas
Caleb Mason, pendiri penerbit Publerati, dalam acara Oxford Debate di Portland pada 9 Desember 2015, mengklaim bahwa buku elektronik (ebook) akan menggantikan buku cetak. Alasannya, buku elektronik menguntungkan bagi pembaca, bagi model bisnis, dan bagi peradaban.
Menurut Mason, pembaca untung karena buku elektronik dapat diakses secara cepat melalui perangkat elektronik. Dengan demikian, energi yang terbuang dan polusi bahan bakar kendaraan untuk mengakses buku cetak di toko bisa dikurangi. Bagi model bisnis, buku elektronik menguntungkan karena memangkas biaya operasional staf dan gudang. Bagi peradaban, buku elektronik menguntungkan karena menghemat bahan bakar, beririsan dengan alasan pertama.
Argumentasi itu tentu tidak menghitung kelekatan manusia dengan kertas. Buku-buku cetak, menurut Benedict Anderson dalam A Life Beyond Boundaries, menawarkan lebih banyak sensasi ketimbang buku-buku elektronik. Dia mengatakan buku-buku elektronik menghilangkan kesan keacakan sekaligus keberuntungan. “Tak ada kejutan, afeksi dan skeptisisme,” tulis Anderson. Bagi Ray Bradbury, buku-buku cetak lebih baik karena bisa dihidu. “Buku memiliki aroma. Buku baru beraroma luar biasa. Buku tua bahkan lebih baik. Aromanya seperti Mesir kuno,” ujar penulis novel Fahrenheit 451 itu dalam sebuah wawancara dengan majalah Time.
Berkebalikan dari klaim Mason pada 2015, data yang dirilis Statista menunjukkan penjualan buku-buku cetak di Amerika Serikat naik dari 653 juta eksemplar pada 2015 menjadi 695 juta eksemplar pada 2018, atau bertambah rata-rata 14 juta eksemplar tiap tahun. Empat tahun setelah klaim Mason, penjualan buku cetak justru makin perkasa. Pada 2017, misalnya, buku elektronik di Amerika Serikat terjual sebanyak 266 juta eksemplar, jauh lebih sedikit dari jumlah penjualan buku cetak sebesar 687 juta eksemplar. Data tersebut menunjukkan bahwa industri cetak tidak akan berakhir hanya karena munculnya industri buku digital.
Alasan ketiga Mason mengafirmasi mitos lain tentang kertas dan kultur cetak, bahwa industri digital dan komunikasi elektronik lebih hemat sumber daya dan lebih ramah lingkungan daripada industri cetak dan komunikasi berbasis kertas (paper-based communication). “Yang tak disadari oleh orang-orang adalah bahwa proses produksi kertas itu berkelanjutan, dan klaim sebaliknya justru menyesatkan konsumen,” ujar Mark Pits, executive director of printing-writing dari American Forest and Paper Association (AFANDPA) dalam artikel berjudul “Is digital really greener than paper?” terbitan The Guardian. Menurut laporan United Nations Environment Programme pada 2015, industri elektronik, yang menjadi media akses terhadap buku-buku elektronik justru merupakan salah satu penghasil sampah yang terbesar dan tercepat, dengan jumlah hingga 41 juta ton sampah elektronik per tahun.
Anggapan lainnya: kertas tercetak yang tak terpakai mudah menjadi sampah. Sebaliknya, menurut United States Environmental Protection Agency (EPA), lebih dari 65% kertas di Amerika Serikat didaur ulang pada 2012. Persentase tersebut menjadikan kertas sebagai komoditas yang paling banyak didaur ulang di AS. Laporan European Declaration on Paper Recycling tahun 2014 menunjukkan bahwa daur ulang kertas di Eropa mencapai 72% pada 2014, dengan 2 ton kertas didaur ulang tiap detik. Dengan kata lain, kertas justru merupakan produk yang paling mudah didaur buat dimanfaatkan kembali.
Pemanasan global yang menjadi isu dunia turut mengemukakan mitos lain tentang industri kertas. Produksi kertas dianggap menyumbangkan efek yang signifikan terhadap emisi rumah kaca global. Laporan Ecofys pada 2013 justru menunjukkan bahwa sektor industri pulp dan kertas adalah salah satu industri pengemisi gas rumah kaca terendah, dengan kontribusi hanya 1% dari emisi rumah kaca global.
Kontribusi terhadap emisi rumah kaca global juga ditimpakan kepada industri kertas atas anggapan bahwa industri tersebut merupakan biang deforestasi. Deforestasi berkontribusi langsung terhadap hilangnya penyerap karbondioksida. Dalam rentang 2005-2015, menurut data FAO, hutan-hutan di Eropa bertambah 44.000 kilometer persegi setiap hari, lebih besar dari luas wilayah Swiss. Data dari FAOSTAT pada 2015 menunjukkan 50% panen kayu dunia justru digunakan untuk energi, 28% untuk konstruksi. Industri kertas secara langsung hanya menyerap 13% dari total panen kayu tersebut.
Data-data di atas didukung pernyataan Susie Soetanto, Country Head PT RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper). Susie menyampaikan kepada Tirto bahwa industri kertas seperti yang dijalankan APRIL (Asia Pacific Resources International Limited) hanya memanen hutan-hutan produksi khusus yang dilengkapi izin pemerintah.
Deforestasi juga dikaitkan dengan anggapan bahwa satu pohon hanya bisa menghasilkan satu rim kertas, sehingga butuh banyak pohon untuk menyuplai kebutuhan produksi. Anggapan ini tentu saja keliru. “Satu pohon akasia berukuran kurang lebih 5 meter mampu menghasilkan 23 rim kertas,” ujar Susie.
Melalui anggapan-anggapan di atas, tentu saja muncul tudingan bahwa hutan tanaman (planted forest) buruk bagi lingkungan. Menurut WWF (2012), dalam bab 4 Living Forest Report, kayu, bahan baku utama dari hutan tanaman, justru ramah lingkungan karena dapat didaur ulang. “Hutan tanaman dapat menjadi sumber daya berwawasan lingkungan energi terbarui dan bahan-bahan mentah industri,” tulis tim WWF dalam laporannya.
Di Indonesia, PT RAPP, perusahaan produsen kertas PaperOne yang telah dipasarkan ke lebih dari 70 negara di dunia, punya visi lingkungan yang sejalan. Water treatment mill milik PT RAPP, misalnya, bisa menghasilkan 525 Megawatt daya listrik. Dari jumlah tersebut, 390 Megawatt digunakan untuk menyokong operasi perusahaan. Sisanya dialirkan untuk kebutuhan listrik masyarakat Kerinci dengan jumlah penduduk kurang lebih 20 ribu jiwa.
Baca juga artikel terkait BISNIS KERTAS atau tulisan menarik lainnya Advertorial