Masjid Tertua Ini Saksi Bisu Berdirinya Pontianak
Berdirinya kota Pontianak, Kalimantan Barat, memang tak pernah lepas dari nama Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Ia adalah lelaki keturunan Arab, anak dari Al Habib Husein, seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa.
Menurut sejarah, setelah ayahnya meninggal, Syarif Abdurrahman pun meneruskan jejak ayahnya menyiarkan agama Islam. Ia melakukan perjalanan dari Mempawah dengan menyusuri sungai Kapuas.Pada 23 Oktober 1771, rombongan Syarif Abdurrahman yang mencapai 14 perahu pun sampai di muara persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Kemudian mereka pun membuka dan menebas hutan di dekat muara tersebut untuk dijadikan daerah permukiman baru.
Ada dua bangunan yang seakan menjadi saksi bisu, bagaimana Syarif Abdurrahman mendirikan sebuah kerajaan dan kota Pontianak, salah satunya adalah sebuah masjid yang ia bangun berseberangan dengan Istana Kesultanan Kadriah.
Saat Syarif Abdurrahman meninggal pada 1808 Masehi, pembangunan masjid diteruskan oleh putranya yang bernama Syarif Usman.
Saat ini, masjid tersebut dinamakan Jami' Pontianak atau yang saat ini dikenal dengan nama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman untuk menunjukkan rasa hormat dan mengenang jasa-jasanya.
Ya, jika Anda berkesempatan datang ke Bumi Khatulistiwa ini, kunjungilah masjid tertua di Kota Pontianak tersebut. Selain kemegahannya, masjid ini sarat dengan nilai sejarah yang menarik karena merupakan satu dari dua bangunan yang menjadi pertanda berdirinya Kota Pontianak pada 1771 Masehi.
Masjid yang dikelilingi oleh pemukiman padat penduduk Kampung Beting, kelurahan Dalam Bugis, serta pasar ikan ini memiliki pelataran yang sangat luas.
Pada bagian depan masjid, yang juga menghadap ke barat, Anda bisa melihatnya megahnya Sungai Kapuas yang terbentang, sungai terpanjang di Indonesia. Meski banyak hiruk pikuk di sekitarnya, saat memasuki area masjid, saya tetap merasakan ketenangan di sini.
Masjid yang mampu menampung sekitar 1500 jemaah ini juga memiliki arsitektur yang cukup unik karena hampir 90 persen konstruksi bangunannya terbuat dari kayu belian (Eusideroxylon zwageri).
Saat memasukinya, saya melihat ada enam pilar yang terbuat dari kayu belian berdiameter setengah meter di dalam masjid. Ada pula enam tiang penyangga lain yang menjulang ke langit-langit masjid, berbentuk bujur sangkar.
Semula, atap masjid ini terbuat dari rumbia. Tapi agar lebih kuat dan tahan lama, rumbia pum diganti dengan sirap, yakni potongan kayu belian berukuran tipis.
Atap masjid ini juga memiliki empat tingkat. Pada tingkat kedua, terdapat jendela-jendela kaca berukuran kecil. Sementara di bagian paling atas, atapnya lebih mirip seperti kuncup bunga atau stupa.
Hal unik lainnya adalah ada pada bagian mimbar tempat khutbah yang mirip seperti geladak kapal. Pada sisi kiri dan kanan mimbar terdapat kaligrafi yang ditulis pada kayu plafon.
Meski sudah banyak dilakukan renovasi, namun bangunan ini seakan tetap menunjukkan wajah lamanya yang penuh nilai sejarah.
Masjid Sultan Syarif Abdurrahman biasanya ramai dikunjungi jamaah ketika salat Jumat dan di saat bulan ramadan seperti saat ini, untuk salat Tarawih. Saat hari-hari besar keagamaan umat islam seperti Idul Fitri tiba, masjid ini juga dipenuhi umat untuk menggelar salat Ied.
Letaknya yang berada di dekat pusat Kota Pontianak membuatnya mudah dijangkau, baik melalui jalur sungai dan jalur darat. Pengunjung yang memilih jalur sungai dapat mengaksesnya dengan menggunakan sampan atau speedboat dari Pelabuhan Senghie. Sedangkan Anda yang ingin menggunakan jalur darat dapat naik bus yang melewati jembatan Sungai Kapuas.