Home
/
Travel
Jogja International Heritage Walk 2016: Belajar Berani dari Jalan Kaki
Firda puri27 November 2016
Bagikan :
"Why you take the opposite route?" tanya seorang pejalan kaki asal Jepang saat berpapasan di dekat Dusun Selopamioro, Imogiri, Yogyakarta, pekan lalu.
"We take 12 km route" jawab saya yakin.
Dia lantas 'meledek', "Hei, you are so young! Why only 12 km?". Dia tampak puas sekali meledek saya sambil berlalu dan terkekeh. Teman saya ikut ikutan tertawa melihat si Jepang itu berlalu.
Si Jepang dan beberapa bule lain serta sejumlah pejalan dari Indonesia terus melewati kami dan naik menelusuri jalan setapak sebuah dusun. Mereka mengambil jarak berjalan 20 kilometer, sementara saya memilih 12 kilometer dengan rute berlawanan arah.
Ini hari kedua saya ikut serta event Jogja International Heritage Walk 2016 (JIHW). Sebuah acara jalan kaki internasional yang diselenggarakan oleh Jogja Walking Association yang mengusung konsep kesehatan, serta penghijauan, pendidikan, komunikasi, pariwisata, dan ekonomi.
Semua konsep-konsep ini diimplementasikan melalui penanaman 1000 pohon di lereng Karang Tengah, Bantul, peningkatan minat mahasiswa untuk bergabung dengan acara jalan kaki bersama dengan peserta asing dan pemberdayaan warga lokal, termasuk upaya untuk mengembangkan pengusaha lokal di Prambanan dan Imogiri sebagai tempat acara ini.
JIHW diadakan selama dua hari di bulan November, mengambil rute di daerah Candi Prambanan dan Desa Imogiri. Jarak jalan kaki adalah 5, 10, dan 20 km. Sebagai informasi, JIHW secara resmi dikukuhkan sebagai anggota ke 27 Liga Jalan Kaki Dunia (IML) pada 7 Mei 2013 di Chantonnay, Prancis. Dan, Indonesia satu-satunya negara di ASEAN menjadi anggota dari IML.
[caption id="attachment_102389" align="alignnone" width="300"] Peserta asing mengambil rute 20 kilometer/firdapuri[/caption]
Animonya sendiri terbilang bagus. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya peserta yang berasal dari negara-negara seperti Amerika, Italia, Norwegia, Jerman, Belgia, Kanada, Jepang, Korea Selatan, India, Cina, dan tentu saja Indonesia. Yang menarik adalah sebagian besar peserta asing ini memilih rute terpanjang 20 kilometer selama dua hari berturut-turut. Bahkan, manula pun berani mengambil jarak tersebut.
Meski peserta lokal pun tak sedikit yang ambil bagian di rute itu, tapi mayoritas dari mereka lebih banyak ditemui di rute pendek menengah, 5, 10, atau 12 kilometer. Dan, rata-rata berusia muda seperti saya. Jadi, tak salah memang jika Si Jepang tadi kemudian 'meledek'.
"Aku baru pertama kali ikut. Kalau yang jauh takut enggak kuat," kata Ayu, peserta lokal dari Semarang. Alasan yang sama persis, yang dijawab dalam hati saat Si Jepang itu menyindir. Hal-hal yang baru pertama dilakukan memang sering menerbitkan ragu, juga takut.
Ah, tapi tidak juga. Beberapa peserta asing yang saya temui pun mengalami hal sama. Baru pertama kali, tapi berani mencoba jarak terpanjang. Mungkin 'pertama' yang mereka maksud adalah jalan kaki di Yogyakarta, masuk-masuk desa, dan ketemu penduduk lokal. Bukan pertama kali jalan kaki jarak jauh.
"I'm being a walker for the first time today and very exciting with 20 km. Your country is very beautiful," kata Darren, peserta asal Kanada berusia 36 tahun.
[caption id="attachment_102393" align="alignnone" width="300"] Peserta asing melambaikan tangan pada anak-anak di Dusun Sompok, Imogiri, Yogyakarta.[/caption]
Ternyata ada juga yang benar-benar pertama mencoba. Dan, saya merasa 'kalah' mental sama mereka. Iya, mental. Belum apa-apa sudah tak yakin dengan diri sendiri. Takut stamina enggak kuat-lah, takut betis gede-lah, nanti kalau pingsan gimana, dan sejumlah persepsi buruk lainnya. Padahal, di rute terpanjang itu, tak sedikit nenek-nenek atau kakek-kakek yang semangat banget jalan kaki. Malah ada yang pakai tongkat segala.
Salah satu nenek dari India, Jadhpur, usianya sudah cukup sepuh, 69 tahun. Tapi, semangatnya luar biasa. Rute 20 kilometer berhasil ditempuh dalam waktu 5 jam 30 menit. Sementara saya sampai garis finish di waktu 4 jam 25 menit hanya untuk rute 12 kilometer.
"I enjoy with this activity. Just enjoy walking and walking. I really dont care with time to finish cause i want to feel the beauty of Yogyakarta," kata Jadhpur.
Menikmati dan berani mencoba tantangan. Mungkin inilah kunci utamanya. Jika kita menikmati, maka jarak 20 kilometer itu tak akan terasa berat. Kita bisa jalan sambil foto-foto, bercengkerama dengan warga sekitar, mencicipi aneka jajanan lokal, membasuh kaki dengan air sungai, dan hal-hal seru lainnya. Tahu-tahu di depan sudah garis finish.
[caption id="attachment_102395" align="alignnone" width="300"] Anak-anak yang akan tampil dalam pentas budaya di rute yang dilewati pejalan kaki/firdapuri[/caption]
Bagi mereka yang mengejar waktu tempuh alias kompetisinya pun harus diacungi jempol. Tanpa semangat dan daya juang tinggi rasanya mustahil mereka mencapai target yang diinginkan. Lalu, dimana proses menikmatinya kalau hanya mengejar medali? Ya, di proses 'mengejar' itu sendiri. Berani mengejar sesuatu yang memang layak diperjuangkan.
"Bisa finish dengan waktu tercepat itu sebuah kepuasan. Ada rasa bangga karena bisa lebih duluan sampai dibanding yang lain. Kan ada pepatah bilang, lebih seru mengejar daripada mempertahankan," ujar Made Sandhy, pejalan kaki asal Bali.
Saya sendiri belajar banyak hal dari event ini. Terutama bagaimana 'menantang' diri untuk berani mencoba sesuatu yang baru. Hasilnya? Tak terlalu mengecewakan-lah karena berhasil sampai garis akhir tanpa cedera, juga perasaan 'menang' karena mampu melawan keraguan.
Lepas dari itu, acara yang sudah delapan kali digelar ini patut dicontoh daerah lain di Indonesia. Kalau saja bisa diadakan serempak, pariwisata di negeri ini bakal jauh melesat. Sebuah kegiatan yang kelihatannya sederhana, namun membawa dampak positif bagi banyak pihak. Terutama berhasil membawa Yogyakarta, sesuai dengan tagline-nya, "Goes to The World".
"We take 12 km route" jawab saya yakin.
Dia lantas 'meledek', "Hei, you are so young! Why only 12 km?". Dia tampak puas sekali meledek saya sambil berlalu dan terkekeh. Teman saya ikut ikutan tertawa melihat si Jepang itu berlalu.
Si Jepang dan beberapa bule lain serta sejumlah pejalan dari Indonesia terus melewati kami dan naik menelusuri jalan setapak sebuah dusun. Mereka mengambil jarak berjalan 20 kilometer, sementara saya memilih 12 kilometer dengan rute berlawanan arah.
Ini hari kedua saya ikut serta event Jogja International Heritage Walk 2016 (JIHW). Sebuah acara jalan kaki internasional yang diselenggarakan oleh Jogja Walking Association yang mengusung konsep kesehatan, serta penghijauan, pendidikan, komunikasi, pariwisata, dan ekonomi.
Semua konsep-konsep ini diimplementasikan melalui penanaman 1000 pohon di lereng Karang Tengah, Bantul, peningkatan minat mahasiswa untuk bergabung dengan acara jalan kaki bersama dengan peserta asing dan pemberdayaan warga lokal, termasuk upaya untuk mengembangkan pengusaha lokal di Prambanan dan Imogiri sebagai tempat acara ini.
JIHW diadakan selama dua hari di bulan November, mengambil rute di daerah Candi Prambanan dan Desa Imogiri. Jarak jalan kaki adalah 5, 10, dan 20 km. Sebagai informasi, JIHW secara resmi dikukuhkan sebagai anggota ke 27 Liga Jalan Kaki Dunia (IML) pada 7 Mei 2013 di Chantonnay, Prancis. Dan, Indonesia satu-satunya negara di ASEAN menjadi anggota dari IML.
[caption id="attachment_102389" align="alignnone" width="300"]
Preview
Animonya sendiri terbilang bagus. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya peserta yang berasal dari negara-negara seperti Amerika, Italia, Norwegia, Jerman, Belgia, Kanada, Jepang, Korea Selatan, India, Cina, dan tentu saja Indonesia. Yang menarik adalah sebagian besar peserta asing ini memilih rute terpanjang 20 kilometer selama dua hari berturut-turut. Bahkan, manula pun berani mengambil jarak tersebut.
Meski peserta lokal pun tak sedikit yang ambil bagian di rute itu, tapi mayoritas dari mereka lebih banyak ditemui di rute pendek menengah, 5, 10, atau 12 kilometer. Dan, rata-rata berusia muda seperti saya. Jadi, tak salah memang jika Si Jepang tadi kemudian 'meledek'.
"Aku baru pertama kali ikut. Kalau yang jauh takut enggak kuat," kata Ayu, peserta lokal dari Semarang. Alasan yang sama persis, yang dijawab dalam hati saat Si Jepang itu menyindir. Hal-hal yang baru pertama dilakukan memang sering menerbitkan ragu, juga takut.
Ah, tapi tidak juga. Beberapa peserta asing yang saya temui pun mengalami hal sama. Baru pertama kali, tapi berani mencoba jarak terpanjang. Mungkin 'pertama' yang mereka maksud adalah jalan kaki di Yogyakarta, masuk-masuk desa, dan ketemu penduduk lokal. Bukan pertama kali jalan kaki jarak jauh.
"I'm being a walker for the first time today and very exciting with 20 km. Your country is very beautiful," kata Darren, peserta asal Kanada berusia 36 tahun.
[caption id="attachment_102393" align="alignnone" width="300"]
Preview
Ternyata ada juga yang benar-benar pertama mencoba. Dan, saya merasa 'kalah' mental sama mereka. Iya, mental. Belum apa-apa sudah tak yakin dengan diri sendiri. Takut stamina enggak kuat-lah, takut betis gede-lah, nanti kalau pingsan gimana, dan sejumlah persepsi buruk lainnya. Padahal, di rute terpanjang itu, tak sedikit nenek-nenek atau kakek-kakek yang semangat banget jalan kaki. Malah ada yang pakai tongkat segala.
Salah satu nenek dari India, Jadhpur, usianya sudah cukup sepuh, 69 tahun. Tapi, semangatnya luar biasa. Rute 20 kilometer berhasil ditempuh dalam waktu 5 jam 30 menit. Sementara saya sampai garis finish di waktu 4 jam 25 menit hanya untuk rute 12 kilometer.
"I enjoy with this activity. Just enjoy walking and walking. I really dont care with time to finish cause i want to feel the beauty of Yogyakarta," kata Jadhpur.
Menikmati dan berani mencoba tantangan. Mungkin inilah kunci utamanya. Jika kita menikmati, maka jarak 20 kilometer itu tak akan terasa berat. Kita bisa jalan sambil foto-foto, bercengkerama dengan warga sekitar, mencicipi aneka jajanan lokal, membasuh kaki dengan air sungai, dan hal-hal seru lainnya. Tahu-tahu di depan sudah garis finish.
[caption id="attachment_102395" align="alignnone" width="300"]
Preview
Bagi mereka yang mengejar waktu tempuh alias kompetisinya pun harus diacungi jempol. Tanpa semangat dan daya juang tinggi rasanya mustahil mereka mencapai target yang diinginkan. Lalu, dimana proses menikmatinya kalau hanya mengejar medali? Ya, di proses 'mengejar' itu sendiri. Berani mengejar sesuatu yang memang layak diperjuangkan.
"Bisa finish dengan waktu tercepat itu sebuah kepuasan. Ada rasa bangga karena bisa lebih duluan sampai dibanding yang lain. Kan ada pepatah bilang, lebih seru mengejar daripada mempertahankan," ujar Made Sandhy, pejalan kaki asal Bali.
Saya sendiri belajar banyak hal dari event ini. Terutama bagaimana 'menantang' diri untuk berani mencoba sesuatu yang baru. Hasilnya? Tak terlalu mengecewakan-lah karena berhasil sampai garis akhir tanpa cedera, juga perasaan 'menang' karena mampu melawan keraguan.
Lepas dari itu, acara yang sudah delapan kali digelar ini patut dicontoh daerah lain di Indonesia. Kalau saja bisa diadakan serempak, pariwisata di negeri ini bakal jauh melesat. Sebuah kegiatan yang kelihatannya sederhana, namun membawa dampak positif bagi banyak pihak. Terutama berhasil membawa Yogyakarta, sesuai dengan tagline-nya, "Goes to The World".
Sponsored
Review
Related Article