Gempur GoTo, Shopee dan Grab Mungkin Ikutan Merger
Ilustrasi (Foto: GoTo)
Uzone.id - E-commerce Tokopedia sudah terintegrasi dengan Gojek dan melahirkan Grup GoTo. GoTo tentunya berhadapan langsung dengan competitor paling kuat, yakni Shopee.
Shopee sendiri sudah membuat layanan pesan dan antar makanan Shopee Food. Kemudian, Shoope sudah mengintegrasikan pembayaran dengan menghadirkan Shopee Pay setelah mengakuisisi bank di Indonesia.
Menurut Bhima Yudhistira, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), valuasi GoTo akan lebih besar ketika go public.
Namun, kata dia, intinya adalah jumlah pemain digital ke depan akan semakin terkonsentrasi ke segelintir pemain. Bahkan akan menciptakan skema pasar oligopoli sebenarnya antara super Apps, antara super Apps Tokopedia dan Shopee.
“Dan ini bisa juga memancing game changer-nya adalah mungkin Shopee dan Grab akan melakukan merger, sebagai penanding ini (GoTo),” tutur Bhima kepada Uzone.id, Selasa (18/5/2021).
BACA JUGA: Gojek-Tokopedia Bersatu, Mitra Driver Bisa Raih Pendapatan Lebih Besar
Bhima menjelaskan, ada sisi negatif yang dia lihat yakni bisa jadi mengulang kasus di China meskipun tidak mirip tapi hampir sama, di mana salah satu kelemahan dari sistem digital yang terintegrasi ke segelintir pemain itu bisa menghambat inovasi pemain baru.
“Jadi pemain kecil kalau masuk ke riding-hailing Apps susah, pemain kecil starup yang baru berdiri mau bersaing di e-commerce susah karena e-commerce-nya sudah terintegrasi,” kata dia.
Bhima menambahkan, bahwa hal ini “Membuat switching cost orang ke suatu platform ke platform lainnya menjadi mahal, menjadi sulit, ini menjadi salah satu masalah anti-trust terkait dengan monopoli pasar digital yang menjadi konsen. Tapi efeknya adalah menghambat inovasi pemain-pemain baru, itu salah satu kelemahannya.”
Melansir neliti.com, switching cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh konsumen karena berpindah ke produk atau jasa yang lain, yang tidak akan dialami jika konsumen tetap setia dengan produk atau jasa yang dipakai saat ini.
Kata Bhima, apakah kelemahan itu akan menguntungkan konsumen?
Dia menjawab, hal itu tergantung nanti. Kalau misalnya yang digarap adalah bisnis yang fintech-nya karena sektor keuangan digital misalkan dari sisi profitabilitas tidak perlu terlalu banyak bakar uang.
“Tapi, fintech, khususnya melihat perkembangan fintech peer-to-peer landing (P2L) ke depannya jadi salah satu sektor yang seksi. Jadi tidak mungkin ya dampaknya kepada konsumen apakah layak menjadi lebih baik ya, salah satu hal karena terintegrasi tadi ya itu harusnya bisa lebih gampang, lebih mudah, lebih simpel karena tidak perlu membuka dua aplikasi,” ujarnya.
Namun, di sisi lain, kata Bhima, arah pengembangannya ke arah digital, seperti digital wallet, digital fintech P2L, maka diskon maupun promo di ride hailing-nya atau pesan antar penumpang akan semakin berkurang karena sudah berorientasi ke profitabilitas.
“Apalagi nanti kalau mulai dibuka ke publik, IPO, tuntutan investor publik lebih mendorong untuk mencari profitabilitas. Apakah konsumen akan loyal? kita lihat ya beberapa bulan, beberapa tahun ke depan,” kata dia.