Pahami Risiko Pay Later, Fitur Penggoda Milenial Berbelanja
Dewi Rianty hari itu tampak tak bersemangat. Bukannya mengerjakan proposal yang menjadi tugasnya, layar komputer di depan perempuan milenial itu menampilkan laman online travel agent. Rupanya ada diskon besar-besaran di sana.
“Aku mau liburan tapi belum gajian. Padahal kalau tidak beli tiketnya sekarang, bisa ketinggalan promo,” keluh Dewi pada Indra, rekan semejanya. Hari itu, Rabu (25/9), adalah dua hari menjelang tanggal gajian di kantor mereka.“Kenapa enggak pakai fitur pay later? Jadi bisa beli sekarang, bayarnya nanti waktu gajian,” kata Indra.
Maka siang itu juga, setelah mendaftarkan identitasnya secara online untuk mendapat fasilitas pay later, Dewi berhasil membeli tiket perjalanan Jakarta-Tokyo (pp) seharga Rp 3 juta saja. Pembayaran akan dicicilnya dalam tiga bulan.
Fitur pay later adalah salah satu tren yang diminati milenial belakangan ini. Beberapa perusahaan aplikasi besar seperti Gojek, OVO, Tokopedia dan Traveloka gencar mempromosikan fitur ini di platformnya. Fasilitas ‘beli sekarang bayar belakangan’ pun dapat dipakai untuk travelling, pembelian makanan, transportasi hari-hari hingga banyak produk konsumsi lainnya.
(Baca: BI Dorong Kolaborasi Bank dan Fintech Agar Bunga Pinjaman Turun)
Terkesan memudahkan bagi konsumen memang, namun jika tidak berhati-hati risiko lilitan utang menanti. Maka, sisi positif pay later perlu diimbangi juga dengan pemahaman atas potensi risiko yang bisa ditimbulkannya.
“Yang terlihat mudah di permukaan belum tentu mudah selamanya, kata Alexander Adrianto Tjahyadi, Audit and Assurance Partner Grant Thornton Indonesia, Jumat (27/9).
Menurutnya, sebelum menggunakan fasilitas pay later, konsumen harus menghitung dulu kebutuhan dan kemampuan mereka. “Substansi Pay later adalah instrumen kredit yang pasti ada konsekuensi finansial yang dapat merugikan jika tidak dipergunakan secara bijaksana dan seksama,” katanya.
Berikut lima risiko penggunaan pay later yang perlu dipahami sebelum menggunakan pay later menurut Grant Thornton, organisasi global yang menyediakan jasa assurance, tax, dan advisory:
- Mendorong perilaku konsumtif
Tanpa disadari, kemudahan untuk membeli sekarang dan bayar belakangan memberikan dorongan impulsif dalam bertransaksi. Kalau sudah begini, sering kali yang terbeli justru barang-barang yang tidak diperlukan.
Jangan lupa, pelaku usaha juga memiliki strategi untuk menghabiskan produk mereka yang tidak terlalu laku. Maka barang atau jasa inilah yang akan jadi yang paling gencar dipromosikan.
(Baca: Sebanyak 127 Fintech Pinjaman Sudah Melayani 15 Juta Penduduk)
- Ada biaya yang tidak disadari
Masyarakat terutama milenial sangat menyukai kecepatan dan kepraktisan. Terkadang mereka tidak menyadari adanya berbagai biaya yang langsung aktif saat mereka menggunakan fitur pay later. Di antaranya ada biaya subscription, biaya cicilan dan biaya lainnya yang dapat berbeda jumlahnya pada tiap aplikasi. Biaya ini kerap disesali saat tagihan datang.
- Arus kas terganggu
Mudahnya pembelian fasilitas pay later dari berbagai aplikasi bisa jadi mengganggu keuangan pribadi dengan banyaknya cicilan yang jadi tanggungan. Sedangkan, dana yang disisihkan untuk membayar tagihan pay later juga dapat terpakai untuk keperluan tak terduga. Hal ini menimbulkan risiko gagal bayar yang tinggi .
- Tunggakan pay later dapat menodai BI checking
Melalui BI checking, lancar atau tidaknya pembayaran nasabah akan terlihat jelas. Tunggakan transaksi pada pay later bisa menodai reputasi kredit Anda. Akibatnya, pengajuan kredit lain yang sifatnya lebih penting, seperti properti dan kendaraan memiliki risiko ditolak.
- Peretasan identitas
Bertransaksi via digital tak luput dari potensi bahaya peretasan. Meskipun setiap aplikasi sudah menyiapkan keamanan tingkat tinggi bagi penggunanya, risiko para kriminal siber mempu menemukan cara meretas database di akun Anda dan menggunakannya untuk hal-hal yang tidak bertanggung jawab tetap ada.
Tak hanya dikembangkan oleh perusahaan startup digital, perbankan pun mulai melirik potensi transaksi melalui fitur pay later. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk misalnya, berkolaborasi dengan Traveloka untuk peluncuran PayLater Card.
Kerja sama ini bertujuan untuk menawarkan solusi pembayaran bagi masyarakat, sekaligus meningkatkan akses terhadap produk finansial. Selain itu, produk ini akan memberikan user experience yang inovatif dengan manajemen kartu secara end-to-end melalui aplikasi Traveloka.
Direktur Konsumer Bank BRI, Handayani mengatakan, kolaborasi ini sejalan dengan strategi pemasaran kartu kredit BRI untuk meningkatkan customer base dan penetrasi pasar di segmen milenial. “PayLater Card menandai era baru bisnis kartu kredit di Indonesia,” ujarnya, Jumat (27/9).
Fitur pay later sebenarnya dapat menjadi opsi yang lebih mudah dan nyaman bagi masyarakat dalam mengakses kredit tanpa kartu. Sebab, proses pengajuan kartu kredit di bank umumnya harus melewati beberapa tahap yang tidak singkat
Pemahaman fitur pay later dengan baik sangat dibutuhkan agar pengguna terhindar dari jeratan utang maupun cicilan yang melilit. Banyaknya pihak yang terlibat, termasuk perbankan, dalam pengembangan fitur ini juga dapat menambah pilihan yang menguntungkan bagi pengguna. “Jika digunakan dengan hati-hati, tentunya fitur pembayaran ini mampu mendorong peningkatan inklusi keuangan Indonesia,” kata Alexander Adrianto.
Sebelumnya, dalam gelaran FIN EXPO 2019 pada 23-24 September lalu, pemerintah kembali menegaskan komitmen untuk mencapai target inklusi keuangan 75% pada akhir tahun ini. Di antara usaha tersebut termasuk membangun ekosistem fintech dan mewadahi berbagai inovasi teknologi di industri yang terus mendisrupsi penggunaan keuangan masyarakat.