Di Balik Semarak Pesta Perceraian Perempuan Saudi
Pesta pernikahan meriah untuk merayakan kebahagiaan pengantin sudah biasa. Tapi bagaimana dengan pesta untuk merayakan perceraian? Agak tak biasa, bukan?
Tapi sesungguhnya pesta perceraian bukan hal yang betul-betul baru. Di negara-negara Barat atau cenderung sekuler seperti Amerika Serikat dan di Eropa, merayakan putusnya hubungan tali perkawinan sudah dianggap lumrah.Namun pesta perceraian terasa baru ketika terjadi di Arab Saudi. Apalagi melihat trennya yang meningkat. Ini karena Saudi memiliki hukum yang konservatif (juga diskriminatif) terhadap perempuan.
Uniknya, pesta perceraian di Saudi justru lebih banyak digelar oleh pihak perempuan. Padahal di negara kaya minyak itu, struktur sosial patriarki begitu kuat. Laki-laki memiliki lebih banyak akses di sektor apapun ketimbang perempuan. Perempuan dianggap sebagai warga negara kelas dua, di bawah laki-laki.
Saudi Gazette, Sabtu (22/7), menyebut tren pesta perceraian sedang tumbuh di Saudi. Di negara-kerajaan tersebut, pesta perceraian berlangsung mewah dan ceria.
Perempuan yang telah bercerai, bersolek dan tampil berbalut gaun putih atau warna-warni. Mereka mengundang sabahat dan kerabat untuk hadir di pesta--yang tak selalu dihelat di rumah, tapi juga di taman-taman publik dan gedung-gedung megah.
Memang berapa sih biaya untuk pesta-pesta perceraian semarak macam itu?
Ribuan riyal, pembaca yang budiman. Saat ini 1 riyal setara dengan 3.551 rupiah. Anda mungkin bisa mengira-ngira dengan menghitungnya sendiri.
“Hari besar itu seperti yang dia impikan. Dengan pakaian putih, wanita Arab Saudi itu berdansa dengan teman-temannya, mengikuti resepsi dan pembukaan hadiah.”
“Tapi yang paling bercerita dari peristiwa itu adalah kue yang ada di sana: di pucuk kue berdiri seorang pengantin yang memeluk kepala mempelai pria--yang telah dipisahkan dari tubuhnya,” demikian menurut Center for Strategic & International Studies Timur Tengah.
Pesta perceraian di Arab Saudi bahkan disebut telah menyaingi pesta pernikahan. Lagu populer “Etaglana” (Kita Telah Bercerai) menjadi semacam lagu mars di pesta-pesta perceraian itu.
Merayakan perceraian dalam bentuk mewah dan tampak seperti pamer itu menunjukkan sebuah pembangkangan yang langka dilakukan di negara-kerajaan dengan sistem sosial patriarki.
Namun bagi perempuan yang terbebas dari suami yang mungkin kasar, posesif, atau pernikahan paksa (dengan dijodohkan misal), pesta-pesta tersebut adalah ungkapan perayaan kebebasan yang baru untuk memulai kehidupan anyar yang lebih baik.
Caryle Murphy, seorang jurnalis dan akademisi kebijakan publik di Woodrow Wilson Center, dalam 'Saudi Arabia's Young and Kingdom's Future' (2011), mengatakan jika terdapat sebuah segmen dari masyarakat Saudi yang agresif mendorong reformasi, itu adalah perempuan muda.
Murphy menulis, permintaan kelompok perempuan muda untuk kebebasan personal yang besar dalam kehidupan publik akan menjadi hal terbesar yang mengarah pada perubahan sosial dan ekonomi pada tahun-tahun mendatang.
Perempuan berpendidikan di Saudi peka bahwa perempuan Muslim di negara-negara lain memiliki kebebasan personal daripada perempuan di Saudi.
Sebuah survei di Saudi, ujar Murphy, menemukan terdapat 88 persen pelajar perempuan di negeri itu melihat kesuksesan karier sebagai bagian dari rencana hidup mereka. Bahkan banyak perempuan muda yang menginginkan jaminan dalam pernikahan mereka, semisal suami memberi perhatian dan menghormati pilihan mereka untuk menyelesaikan pendidikan dan bekerja di luar rumah.
Para perempuan Saudi juga menuntut perubahan hukum bercerai yang menguntungkan laki-laki, dan meminta pemerintah lebih tanggap terhadap kekerasan domestik mengingat banyaknya kasus perceraian dan perempuan yang melarikan diri dari rumah untuk menghindari kekerasan domestik.
Tuntutan terhadap kebebasan berjalan seiring meningkatnya keberanian untuk mengambil keputusan personal, dan ini kebanyakan dilakukan oleh perempuan berpendidikan.
Menurut Caryle, dalam hitungan dekade mendatang, benturan antara budaya patriarki dengan tuntutan perempuan-perempuan muda Saudi akan terus berlangsung. Meski disebut pula bahwa laki-laki generasi muda tidak cukup terbuka dengan perubahan tersebut.
Ketika mengumpulkan pendapat umum mengenai apakah akan ada perubahan substansial terhadap hak-hak perempuan dalam lima tahun ke depan, 75 persen perempuan Saudi menjawab perubahan akan terjadi. Sementara hanya 49 persen laki-laki yang setuju.
Berdasarkan laporan Human Rights Watch sebagaimana dilansir Time, dari wawancara dengan sejumlah perempuan, ditemukan ketidaksetaraan: laki-laki dapat secara sepihak menceraikan istrinya, tapi perempuan tidak memiliki hak yang sama.
Seorang laki-laki tidak perlu memberi tahu istrinya tentang niat untuk berpisah. Sementara para mediator dan hakim yang cenderung konservatif menganggap kedudukan suami sebagai wakil dari istrinya.
Apalagi pernikahan paksa masih lazim dilakukan. Ayah dari seorang anak perempuan bahkan memiliki hak untuk menentukan dengan siapa anaknya tersebut akan menikah.
Di Saudi bahkan, seperti dilaporkan Haaretz, ada kasus seorang suami berusia 50 tahun akhirnya menceraikan istrinya yang baru berusia 9 tahun karena tekanan lembaga-lembaga internasional.
Sistem masyarakat patriarki itulah yang menyangga pernikahan paksa dan semua hukum diskriminatif bagi perempuan. Dengan demikian, pesta perceraian merupakan perlawanan simbolik dari kaum perempuan--seperti halnya Model Khulood yang berjalan dengan tank top dan rok mini di tengah situs bersejarah Ushayqir Heritage Village.
Kesadaran kaum perempuan terbangun. Ungkapan kebebasan melalui pesta perceraian itu boleh dibilang menjadi buntut dari tumbuhnya keberanian kaum perempuan untuk mengemukakan pilihan kehidupannya di publik. Perempuan pula yang mendorong berubahnya hukum diskriminatif.
Misalnya, pada 2015 lalu, perempuan di Arab Saudi untuk pertama kalinya diperbolehkan berpartisipasi dalam pemilihan umum, baik sebagai kandidat maupun pemilih.
Tumbuhnya fenomena pesta perceraian lintas benua kemudian mendorong seorang terapis Christine Gallagher menulis 'The Divorce Party Handbook: How to Throw an Unforgettable Divorce Party When Divorce Do Us Part'.
Salah satu isi dari buku itu kurang lebih menjelaskan tentang etika mengadakan pesta perceraian. Ia bahkan merinci yang disebutnya 'etika pesta perceraian'. Beberapa di antaranya misalnya, menurut Chistine, pesta tersebut bisa dibenarkan untuk menandai akhir dari suatu masa yang sulit dan emosional dalam hidup seseorang.
Namun dalam pesta pernikahan, lanjut dia, sebaiknya hanya mengundang sahabat dan keluarga dekat. Tidak perlu mengundang semua orang yang dikenal, termasuk semua dari mereka yang dahulu diundang ke pesta pernikahan. Karena tidak semua bisa menerima pesta semacam itu.
Pesta perceraian tidak perlu mengeluarkan biaya besar. Yang penting, ujar Christine, fokus pada melakukan hal-hal menyenangkan.
Kapan waktu pesta dilangsungkan juga tidak menjadi masalah, apakah pesta itu dilakukan tepat ketika urusan perceraian selesai, atau lebih lama menunggu suasana mendingin. Dan dalam pesta perceraian, kata Christine, sebaiknya hati-hati membicarakan tentang mantan.
Tapi bagaimana kalau mantan suami tak setuju dengan pesta perceraian?
“Saya akan mengabaikannya dan meneruskan rencana pesta perceraian saya. Kebanyakan hakim juga tidak akan peduli. Beberapa mungkin berempati. Yang jelas anda dan suami anda tidak lagi berada dalam sebuah hubungan yang sama,” tukas Christine.
Bahkan kadang kala jika situasinya memungkinkan, mantan suami pun boleh-boleh saja diundang. Undangan itu bisa membuat hubungan sebagai suami-istri, lalu mantan, berevolusi menjadi pertemanan. Dengan begitu orang-orang terdekat mengerti bahwa perceraian tersebut bersifat damai tanpa dendam.
The Media Line, September 2016, melaporkan bahwa angka perceraian di Saudi adalah yang tertinggi di dunia, dengan 127 kasus per hari. Di Jeddah contohnya, berdasarkan data Kementerian Kehakiman Saudi, tingkat perceraian naik 50 persen sejak 2015.