Chairil Anwar dan Empat Perempuan di Pusaran Puisinya
Dalam dunia sastra, Chairil Anwar lebih dikenal sebagai sosok penyair yang mendobrak gaya puisi pujangga baru. Penyair kawakan Sapardi Djoko Damono pun mengakui itu.
Kata Sapardi, Chairil tak lagi menggunakan bahasa lama seperti sastrawan Melayu lainnya.Namun di balik itu, Chairil yang meninggal dalam usia muda ternyata punya sisi kehidupan menarik. Semasa hidupnya, Chairil pernah punya cerita cinta dengan beberapa perempuan.
Itulah yang menjadi salah satu inspirasi Chairil menulis puisi-puisinya.
Lihat juga:Cerita Empat Perempuan dalam Hidup Chairil Anwar |
Tak heran jika nama-nama perempuan berlintasan dalam sajak penyair kelahiran Medan itu. Mulai Ida Nasution, Sri Ajati, Sumirat, hingga Hapsah yang kemudian diadaptasi Titimangsa Foundation ke dalam sebuah pertunjukan teater bertajuk 'Perempuan Perempuan Chairil'.
Ditampilkan pada akhir pekan kemarin, 10 dan 11 November, pertunjukan ini menyuguhkan empat babak hidup Chairil bersama empat perempuan. Di bawah arahan sutradara Agus Noor, Chairil yang diperankan aktor kenamaan Indonesia, Reza Rahadian diceritakan bak pria flamboyan yang menabur pesona lewat sajak-sajaknya.
Perempuan pertama yang diceritakan adalah Ida Nasution yang diperankan Marsha Timothy. Ia seorang mahasiswa, penulis hebat dan pemikir kritis. Ida bahkan bisa menyaingi intelektualisme Chairil ketika berdebat. Saking pintarnya, ia bahkan dapat membaca Chairil dan tak mempan dirayu olehnya.
Preview |
Selanjutnya, diperankan Chelsea Islan, Sri Ajati juga mahasiswi. Ia bergerak di tengah pemuda-pemuda hebat pada zamannya. Ikut main teater, jadi model lukisan dan gadis ningrat. Digambarkan sebagai gadis lugu, tokoh Sri juga menjadi idola para pria.
Ada lagi Sumirat (Tara Basro). Seorang yang terdidik yang lincah. Ia tahu benar bagaimana menikmati keadaan, mengagumi keluasan pandangan Chairil, menerima dan membalas cinta Chairil dengan sama besarnya, meski akhirnya cinta itu kandas.
Ujungnya, Chairil disadarkan oleh Hapsah (Sita Nursanti). Perempuan yang akhirnya memberi anak pada Chairil itu begitu berani mengambil risiko mencintainya. Hapsah tahu lelaki itu akhirnya akan berubah, meski terlambat. Bersama Hapsah lah Chairil tahu ia lelaki biasa.
Preview |
Selama 120 menit, keberagaman empat karakter perempuan di pusaran hidup Chairil begitu terasa. Lewat empat karakter itu pula, karakter Chairil seolah ikut terbingkai.
Dalam pentas, penonton dimanjakan dengan sejumlah sajak yang menjadi bagian dialog pertunjukan itu. Sajak-sajak itu seolah melebur dalam hidup Chairil dan perempuannya.
Menyaksikan pentas ini seperti ikut merasakan perkembangan akting Reza di atas panggung teater. Reza lebih masuk ke dalam karakter, setelah di pentas sebelumnya, 'Teater Bunga Penutup Abad' ia terlihat gugup dengan penampilan perdananya.
Meski sempat terganggu dengan masalah teknis soal mikrofon, Reza tetap berusaha hidup dalam karakternya. Tantangan yang tampak cukup sulit, hilir mudik tampil dalam empat babak dan berhadapan dengan empat karakter perempuan yang berbeda, berhasil ia taklukkan.
Ini kali pertama Marsha tampil di atas panggung teater. Namun ia sudah bisa membuktikan bahwa dirinya layak mengalahkan Nicole Kidman seperti yang baru dilakukannya di Spanyol.
Penampilannya sebagai Ida cukup meyakinkan. Sayang, ketika ia sempat sekali ‘terpeleset’ dalam pengucapan dialog, emosi yang ia dalami terpecah begitu saja.
Ini juga panggung teater pertama untuk Tara. Namun ia langsung menyita perhatian. Demikian pula dengan Sita, yang berhasil membawa penonton lebih dalam mengenali sisi lain sosok Chairil. Sita mencairkan suasana dengan Hapsah yang digambarkan sebagai perempuan biasa.
Kesederhanaan karakter Hapsah memberi energi dalam pentas ini. Ia mewujudkan bagaimana Chairil hidup tak lepas dari puisi-puisi yang ia tulis dan buku-buku yang ia baca.
Chelsea, meski sudah dua kali menjadi lawan main Reza di atas pentas, penampilannya tetap datar dan tidak terasa begitu spesial dibanding tiga karakter lain.
Preview |
Secara keseluruhan, pentas yang diadaptasi dari buku Chairil karya Hasan Aspahani ini memberi suguhan baru soal sosok Chairil Anwar, penyair yang berjasa dalam dunia sastra Indonesia. Terlebih itu diimbangi dengan tata artistik, musik, serta kostum yang menarik.
Sayangnya, pentas ini hanya ditampilkan selama dua hari. Padahal antusiasme masyarakat terlihat begitu besar dengan tiket yang telah ludes terjual jauh sebelum teaternya dipentaskan. Masyarakat rupanya ingin melihat sisi lain Chairil Anwar, yang selama ini di mata generasi milenial hanya dikenal lewat puisi-puisi seperti Aku.