BBM Naik, Bagaimana Menyiasati Kecukupan Gizi? Ini Kata Ahli
Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito menjelaskan alasan dibalik kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi Pertalite. Menurutnya, hal itu lantaran harga minyak mentah dunia yang terus mengalami kenaikan yang signifikan dalam beberapa minggu terakhir.
Kenaikan harga minyak mentah tersebut juga dibarengi dengan nilai tukar rupiah yang mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat.Seperti diketahui, Sabtu (24/3/2018) lalu, PT Pertamina (Persero) kembali menaikkan harga BBM non subsidi Pertalite sebesar Rp200 per liter.
Berdasarkan data Pertamina, harga jual Pertalite di wilayah DKI Jakarta menjadi Rp7.800/liter. Sementara di provinsi lainnya berkisar Rp7.800 sampai Rp8.150 per liter.
Seperti biasa, jika BBM naik, harga bahan pangan biasanya ikut-ikutan naik, termasuk berbagai jenis makanan bergizi. Lalu bagaimana bagaimana menyiasati kecukupan gizi?
Prof. Ali Khomsan, guru besar gizi IPB memaparkan meski kenaikan harga pangan tak bisa dihindari, Hal ini tidak serta merta menghambat upaya masyarakat untuk mengurangi pemenuhan gizi masyarakat melihat bahwa sumber ketersediaan bahan pangan alternatif masih ada.
JIka masyarakat hanya beranggapan bahwa kandungan protein yang baik hanya terdapat pada daging ayam atau ikan, segera cari alternatif lain.
"Hal ini bisa disiasati, bila harga pangan naik, maka masyarakat harus melakukan coping mechanism, yakni mengonsumsi pangan yang dulunya jarang dikonsumsi. Misal pengganti karbohidrat adalah umbi-umbian, bukan hanya beras lho, umbi-umbian malah bagus untuk diversifikasi pangan. Untuk pangan hewani, konsumsi yang semakin berkurang terpaksa diganti yang lebih murah dulu, dari nabati ada tahu tempe," seru Prof. Ali saat dihubungi Suara.com, Jumat (12/10/2018).
"Konsumsi vitamin juga perlu, tapi tidak dimaksudkan untuk mengantisipasi naiknya harga pangan. Vitamin hanya suplemen untuk mereka yang kurang sayur dan buah, hanya pelengkap," lanjutnya.
Memang jika secara teori sulit menghadapi kenyataan jika harga pangan mulai naik, dan semua kebutuhan semakin mahal, urusan perut kadang bisa membuat diri semakin stres.
Maka dari itu, masyarakat juga perlu meningkatkan pemahaman bagaimana mengatasi situasi sulit. Jika masyarakat tidak membekali diri dengan coping skill, alias kemampuan mengatasi masalah, lama-kelamaan stres dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan keseharian Anda.
Dikutip dari Medical Dictionary, coping skill adalah suatu pola karakter atau perilaku yang dapat meningkatkan kemampuan adaptasi seseorang. Hal tersebut termasuk kemampuan dalam mengatasi masalah, bersosialisasi, menjaga kesehatan, dan juga kemampuan dalam menjaga komitmen. Hal ini tentunya dipandang sebagai suatu kemampuan menghadapi stres untuk mendorong diri agar tetap terus maju mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Menghadapi situasi sulit soal bahan pangan naik dan bagaimana kecukupan gizi terpenuhi, Prof Ali menyatakan perlu adanya edukasi kepada masyarakat, agar coping skill tadi bisa dikuasai masyarakat.
"Nah disini peran pemerintah juga harus turun, peran promosi kesehatan dan gizi dari jajaran dinas kesehatan terkait perlu dioptimalkan. Jalurnya bisa edukasi lewat kader posyandu atau tenaga pelaksana gizi di puskesmas," pungkasnya.