Banyak UKM di Asia Tenggara Kesulitan Hadapi Kejahatan Siber
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)
Uzone.id - Usaha kecil dan menengah (UKM) turut terkena dampak pandemi virus corona (Covid-19). Selain menjaga arus kas mereka tetap berjalan meskipun terdapat tindakan lockdown berulang, sektor ini juga menjadi target para pelaku kejahan siber yang berbahaya.Berdasarkan survei Kaspersky’s IT Security Economics 2020, lebih dari sepertiga (37 persen) UKM di Asia Tenggara (SEA) mengaku telah menghadapi serangan yang ditargetkan.
Ini merupakan empat tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 33 persen. Dalam penelitian ini, UKM didefinisikan sebagai perusahaan yang memiliki karyawan sebanyak 50 hingga 999 orang.
Serangan bertarget adalah beberapa risiko paling berbahaya bagi sistem bisnis. Ini adalah tipe serangan siber yang ditujukan untuk membahayakan perusahaan atau jaringan tertentu.
Baca juga: Waspada Tawaran Google Drive Gratis Seumur Hidup di E-commerce
Biasanya, serangan yang ditargetkan memiliki beberapa tahapan. Jenis ancaman canggih tersebut cenderung sangat sulit dideteksi karena sifatnya yang ditargetkan.
“Meskipun banyak pemilik usaha yang masih menganggap bisnis sederhana mereka jauh dari radar penjahat dunia maya, wawasan dari survei kami mengungkapkan gambaran sebaliknya. Kebanyakan aktor ancaman pada dasarnya adalah oportunis,” kata Yeo Siang Tiong, General Manager untuk Asia Tenggara di Kaspersky.
“Perusahaan besar lebih cenderung memiliki langkah-langkah keamanan mutakhir sehingga UKM akhirnya menjadi sasaran empuk. Ketika berhasil, serangan ini bisa menyebabkan kerugian yang sangat besar,” imbuhnya.
Studi yang sama dilakukan pada bulan Juni lalu dengan para 5.266 pembuat keputusan bisnis TI dari 31 negara mengungkapkan celah yang memerlukan perbaikan mendesak, mengingat lebih dari setengah UKM di Asia Tenggara mengakui kurangnya visibilitas infrastruktur.
Baca juga: Microsoft Team Bisa Dipakai Gratis Seharian, Sampai 300 Orang
Mereka juga tidak mampu mendeteksi ancaman serius di antara banyaknya peringatan yang datang.
Selain itu, hampir tujuh dari 10 (66 persen) responden mengungkapkan kurangnya staf teknis yang terampil untuk mendeteksi dan menanggapi insiden yang kompleks.
Sebanyak 64 persen juga mengakui ketidakmampuan mereka untuk menanggapi dan membersihkan dengan benar setelah serangan canggih terjadi. Sementara itu, sekitar 58 persen menyatakan bahwa mereka belum memiliki wawasan dan intelijen memadai tentang ancaman yang secara khusus dihadapi oleh bisnis mereka.
VIDEO: Unboxing + Review Singkat iPhone 12 Pro Max Indonesia