Bagi Slank dan Slankers, Beda Gak Beda Asal Kumpul
Ada cahaya terang di wajah Didi (19). Ia tak lagi mampu berkata-kata setelah melihat idolanya, Akhadi Wira Satriaji alias Kaka Slank, dari amat dekat. Selama ini Didi hanya bisa melihat Kaka dari kejauhan, di bawah panggung konser, di tengah ribuan Slankers.
"Seneng banget bisa lihat dari dekat. Kayak mimpi," kata Didi seraya memutar mutar sebatang rokok yang ia pegang.
Didi datang bersama kawannya, Anton (18). Saya bertemu mereka yang sedang duduk bersila di depan markas Slank, Jalan Potlot III, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Didi dan Anton sengaja datang dari Indramayu demi bertemu sang Idola yang rencananya bakal menggunakan hak suara, tak jauh dari markas mereka di Potlot. Bisa jadi, hanya ini momentum terkuat yang mereka miliki untuk bisa bertatap muka dengan para personel Slank.
Mereka berdua dengan sesadar-sadarnya rela untuk menanggalkan haknya sebagai pemilih. Mereka juga tahu bahwa Slank secara terbuka mendukung Jokowi sejak lama. Gerakan politik Slank ini dianggap bisa menggaet banyak suara dari para Slankers. Namun Didi dan Anton tak peduli urusan politik.
Yang terpenting bagi mereka adalah bisa melihat personel Slank dari dekat. Tak peduli meski untuk itu mereka harus datang dari jauh dan menjadi golput.
Siang itu markas Slank terlihat cukup sepi. Hanya terlihat beberapa mobil yang terparkir di halaman depan dan perkakas musik yang diletakkan di samping pintu masuk.
Di bangunan sebelah kiri ada warung berukuran kecil. Di tembok-tembok Markas Slank, poster bergambar Joko Widodo dan Ma'ruf Amin di tempel hampir di setiap sudut. Di tempat ini pula Kar (48) sedang mengiris bawang dan bermacam sayuran.
"Hari ini libur, Mas. Pada nyoblos," ujar Kar seraya menawari saya segelas kopi hitam bermerek SlankKopi.
Kar bukan sembarang orang di Markas Slank. Ia merupakan juru masak yang sudah hampir 30 tahun bekerja di bawah komando Bunda Iffet, "ibu" seluruh personel Slank dan Slankers. Dengan durasi kerja yang terbentang panjang itu, Kar bisa dikata sedikit-banyak paham tentang kiprah Slank, termasuk saat band ini memutuskan turun gunung untuk mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Slank Dalam Kancah Perpolitikan Nasional
Keterlibatan Slank dalam percaturan politik punya riwayat panjang. Di era Orde Baru dan Reformasi 1998, misalnya, Slank merupakan salah satu band yang getol mengkritik rezim Soeharto. Mereka banyak menulis lagu dengan muatan kritik sosial, termasuk untuk penguasa. Lagu "Cekal" dari album Piss (1993), misalkan, punya lirik tajam, "Cekal dicekal kritik beda pendapat. Cekal dicekal dianggap biang rusuh."Usai Suharto digulingkan pada 1998, Slank mengeluarkan album Mata Hati Reformasi. Ada lagu "Missing Person (Tren Orang Hilang)" yang lebih blak-blakan mengkritik penculikan yang dilakukan di ujung rezim Orde Baru.
Meski begitu, Slank tak pernah terang-terangan mendukung politisi atau partai. Barulah pada 2012, mereka mendukung pasangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang saat itu maju dalam Pilkada DKI. Ketika Jokowi bertandang ke Potlot III, politisi asal Solo ini disambut hangat.
Slank mengenal Jokowi pada 2010, ketika band yang dibentuk pada 1983 ini konser di Solo. Saat itu Jokowi masih menjabat sebagai Wali Kota. Dua tahun kemudian, Jokowi maju sebagai Calon Gubernur, dan Slank mendukungnya secara terbuka.
"Gue selama ini golput. Kalau ada pilihan gue milih, mungkin tahun ini kotak-kotak," ujar Bimbim.
Dukungan itu terus berlanjut ketika Jokowi maju ke Pemilihan Presiden 2014. Bahkan Slank menjadi salah satu pengisi konser Salam Dua Jari yang dianggap sebagai salah satu faktor penentu kemenangan Jokowi. Konser yang diadakan di Gelora Bung Karno ini diperkirakan mendatangkan sekitar 80 ribu orang massa. Momen konser ini kembali diulang pada 2019, beberapa hari sebelum Pemilihan Presiden.
Dukungan Slank ini dianggap bisa menyumbang banyak suara dari para Slankers. Namun, sayangnya, atau ironisnya, Jokowi selalu tumbang di Potlot. Pada 2014, di TPS 15 tempat tiga personel Slank mencoblos, Jokowi-JK kalah 16 suara dari Prabowo-Hatta Radjasa.
Afrizal, salah satu petugas TPS di Potlot, berkata, kehadiran (dukungan) Slank sejatinya tak serta merta membawa dampak yang sama bagi para pemilih di daerah Markas Slank.
"Karena pada dasarnya di sini [Potlot] sama-sama kuat. Di [Pilgub] 2017 kemarin, banyak yang milih Anies," kata lajang yang sehari-hari bekerja di perusahaan swasta ini kepada Tirto.
Pernyataan Alfrizal pada akhirnya lagi-lagi terbukti benar. Pada Pemilu 2019, Jokowi kembali tumbang di TPS 031 dan 082 yang terletak di Potlot. Dukungan Slank, pada akhirnya tidak selalu segaris lurus dengan dukungan Slankers.
"Aku enggak harus menuruti apa yang dipilih Slank. Menurutku pilihan seseorang enggak bisa disamakan dengan yang lain," kata Ardan, Slankers asal Kalideres, Jakarta Barat, yang mendukung Prabowo Subianto.
Pendapat serupa juga diutarakan Kar. Ia berkata, keluarga besar Slank sudah terbiasa dengan perbedaan pilihan politik. Baginya, yang terpenting adalah Slank mampu membuat perbedaan tersebut tak menjadi perselisihan.
"Slank itu cinta damai dan enggak memaksakan pilihannya," kata Kar. "Kalau emang ada yang beda, ya, enggak jadi masalah."
Dan seperti itulah seharusnya politik dan segala pilihannya.
Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan menarik lainnya Faisal Irfani dan Arbi Sumandoyo