Bagaimana Pemanasan Global Berdampak pada Kesehatan Mental?
Panel antar-pemerintah tentang perubahan iklim (IPCC) PBB yang dihadiri perwakilan 195 negara di Incheon, Korea Selatan 8 Oktober 2018, kembali memberikan peringatan keras bahwa kehancuran dunia akan segera terjadi jika para pemimpin negara tidak segera membuat perubahan radikal, cepat, dan meluas untuk membendung laju pemanasan global.
Para ilmuwan dunia yang tergabung di IPCC menyebutkan, hanya tersisa 12 tahun lagi untuk mencegah kenaikan suhu global di atas 1,5 derajat celcius.
Jika ambang batas itu dilanggar, dampak perubahan iklim berupa cuaca yang kian panas, kekeringan parah, curah hujan ekstrem, dan mencairnya daratan es di kutub utara yang bisa membuat negara-negara kepulauan tenggelam, akan sulit dicegah.
“Suhu rata-rata global pada tahun 2017 sekitar 1,1° C di atas tingkat suhu era pra-industri. Sayangnya, kita tengah menuju batas 1,5° C dan tren pemanasan berkelanjutan tidak menunjukkan tanda-tanda menurun. Dua dekade terakhir adalah 18 tahun terpanas sejak pencatatan dimulai pada 1850,” kata Wakil Sekretaris Jenderal World Meteorological Organization (WMO) Elena Manaenkova pada sesi pembukaan pertemuan IPCC di Incheon.
Sebelumnya, para ilmuwan sepakat bahwa kenaikan suhu tidak boleh lebih 2 derajat Celcius. Namun, karena perubahan iklim ekstrem yang semakin tak terkendali, ambang batas itu diturunkan menjadi 1,5 derajat Celcius.
Dengan waktu hanya 12 tahun tersisa, bisakah dunia bersatu untuk mencegah peningkatan suhu global agar terhindar dari bencana besar? Di era industrialisasi seperti sekarang, mengurangi emisi gas rumah kaca dan memutus ketergantungan pada bahan bakar fosil adalah salah dua dari sekian cara menghambat laju pemanasan global.
Misi tersebut jelas akan membutuhkan komitmen yang amat kuat dari seluruh negara di dunia. Terlebih, keberadaan energi hijau dan terbarukan sejauh ini belum mampu menggusur total energi fosil.
Dampak dari perubahan iklim ternyata tak melulu soal cuaca buruk dan bencana alam lainnya, tetapi juga menyasar ke masalah kesehatan manusia. Misalnya berkurangnya jam tidur manusia. Panasnya suhu membikin kualitas tidur memburuk karena tak nyenyak.
Perubahan Iklim Picu Emosi
Baru-baru ini, sebuah studi menunjukkan bahwa perubahan iklim berkorelasi dengan gangguan kesehatan mental.
Nick Obradovich dkk dalam sebuah artikel jurnal berjudul "Empirical evidence of mental health risks posed by climate change" (2018) yang diterbitkan Proceedings of National Academy of Sciences menemukan bahwa paparan suhu yang lebih panas dari biasanya, peningkatan curah hujan, dan siklon tropis berkontribusi terhadap gangguan mental.
Penelitian Obradovich dan tim melibatkan 2 juta responden Amerika Serikat yang disurvei antara tahun 2002 sampai 2012.
Dalam survei tersebut, masing-masing responden diminta untuk menilai tingkatan stres, depresi dan masalah emosi lainnya selama 30 hari terakhir. Para peneliti kemudian menggabungkan data meteorologi dengan data kesehatan mental para responden.
Dari hasil mencocokkan tingkat stres dengan data cuaca, didapati bahwa rata-rata para responden mengalami peningkatan masalah kesehatan mental sebesar 0,5 persen di bulan-bulan ketika suhu rata-rata melebihi 30 derajat Celcius jika dibandingkan bulan-bulan di mana suhu rata-rata berkisar antara 10-15 derajat Celcius.
Selain itu, stres tak cuma dipicu oleh suhu atau cuaca yang bikin gerah. Hujan yang turun puluhan kali dalam sebulan dengan intensitas tinggi dilaporkan juga meningkatkan potensi gangguan mental.
Curah hujan yang tinggi adalah dampak dari perubahan iklim. Temperatur yang meningkat menyebabkan lebih banyak proses penguapan sehingga atmosfer menampung lebih banyak air. Banyaknya gumpalan uap air yang menggantung di langit inilah yang akhirnya turut meningkatkan jumlah badai tropis yang menghantam daratan. Apalagi, secara keseluruhan, curah hujan rata-rata AS terus meningkat sejak 1900.
Para responden perempuan dan responden berpenghasilan rendah 60 persen lebih mungkin punya problem kesehatan mental ketika suhu bertengger di atas 30 derajat, dibandingkan dengan responden laki-laki dan responden berpenghasilan tinggi.
Saat Badai Katrina 2005 menerjang daerah di sepanjang Pantai Teluk AS, para responden yang bermukim di area terdampak mengalami gangguan kesehatan mental. Badai Katrina adalah salah satu bencana terburuk dalam sejarah AS yang telah memaksa 600 ribu rumah tangga mengungsi.
"Jika kita mendorong kenaikan suhu global di kisaran 2 derajat Celcius, dampak pada kesehatan manusia, termasuk kesehatan mental, dapat menjadi bencana besar," kata Obradovich dikutip sebagaimana dikutip Inverse.
Di sisi lain, penelitian tersebut juga menegaskan bahwa perubahan iklim berkorelasi masalah kesehatan mental. Artinya, perubahan iklim belum tentu menjadi penyebab utama gangguan mental.
"Kami tidak yakin bahwa perubahan iklim berdampak pada cuaca panas dan mempengaruhi tidur, mempengaruhi suasana hati sehari-hari, aktivitas fisik, penyakit yang berhubungan dengan suhu panas, kinerja kognitif atau kombinasi yang kompleks di antara itu semua. Tapi sayangnya, proses ini sangatlah rumit sehingga kita tidak dapat dengan mudah mengidentifikasi secara tepat mekanisme mana yang membimbing hasil penelitian kami," papar Obradovich.
Para peneliti memperkirakan bahwa perubahan iklim bisa saja tidak lagi berdampak pada kesehatan mental di masa depan. Syaratnya, manusia mampu beradaptasi dengan iklim yang panas, mendapat penanganan psikologis dan dukungan sosial, membina kesiapan mental, atau mampu mencari tempat yang lebih dingin.
Penelitian Obradovich dkk bukan studi pertama yang menjajaki dampak perubahan iklim pada kesehatan manusia. Pada Juli lalu, penelitian Marshall Burke dkk yang diterbitkan di jurnal Nature menemukan bahwa panas dan kekeringan memperbesar risiko bunuh diri dan gangguan jiwa.
Pada 2017, American Psychological Association menetapkan bahwa stres yang berujung pada peningkatan penyalahgunaan obat-obatan atau zat anti-depresan disebabkan oleh perubahan iklim.
Beberapa penelitian lain yang sudah dipublikasikan menyebutkan bahwa cuaca yang panas dan lembab menyebabkan (PDF) peningkatan populasi nyamuk dan kutu yang berpotensi besar membawa penyakit menular. Air bersih pun terkontaminasi air kotor seperti limbah dan hujan sehingga membawa penyakit. Sementara pada tubuh manusia, risiko diabetes meningkat karena asupan glukosa yang bertambah kala cuaca panas. Risiko penyakit paru-paru dan kardiovaskular pun bertambah besar karena paparan polusi dan efek gas rumah kaca.
Baca juga artikel terkait KESEHATAN MENTAL atau tulisan menarik lainnya Tony Firman