Bagaimana Cara Negosiasi Gaji dengan Perusahaan?
Obrolan tentang #Gaji populer di Twitter sejak Minggu, 9 Juni 2019. Dalam perbincangan tersebut, ada orang yang membahas tentang standar upah layak di kota tertentu, nilai gaji pertama, ungkapan tidak peduli terhadap gaji orang lain, dan ada pula yang menabukan obrolan tentang gaji.
Dalam sebuah survei New Norms @Work yang diulas Washington Post, hampir 73 persen pekerja penuh waktu mengemukakan rasa tidak nyaman ketika membahas upah mereka dengan siapa pun di tempat kerja selain bos dan Departemen SDM. Survei tersebut dilakukan terhadap 15.000 orang di seluruh dunia dari 19 negara.
Padahal dalam studi berjudul “Inequality at Work: The Effect of Peer Salaries on Job Satisfication” (PDF) (2011) yang dilakukan oleh David Card dan tiga rekannya, ditemukan bahwa keterbukaan gaji bisa menjadi solusi atas kesenjangan upah.
Penelitian tersebut dilakukan terhadap karyawan di University of California dengan menanyakan kepuasan kerja dan niat mereka mencari pekerjaan. Dari riset tersebut, Card, dkk. menyimpulkan bahwa pekerja dengan gaji di bawah median cenderung mencari pekerjaan baru.
Pengalaman Orang Bernegosiasi
Agar upah meningkat, tentu saja kita membutuhkan kemampuan bernegosiasi dengan perusahaan yang kita inginkan. Seperti yang dilakukan Rafik Meiliana yang memilih untuk mundur dari kantor lamanya dan pindah ke tempat baru. Salah satu alasannya adalah untuk mendapatkan angka gaji yang lebih tinggi.Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan pria berusia 33 tahun ini ketika hendak melakukan negosiasi gaji, seperti kebutuhan hidup, kredibilitas perusahaan tujuan, beban kerja, dan tentu saja, peningkatan pendapatan.
Tentu saja Rafik memiliki nilai jual agar penawarannya dipenuhi, di antaranya pengalaman kerja serta kemampuan menjalani beban kerja yang dipaparkan oleh perusahaan.
“Gaji yang aku dapatkan sesuai sama permintaan, tapi belakangan nyesel, tahu gitu minta [gaji] lebih tinggi,” ujar Rafik.
Meski lebih tinggi dari perusahaan yang lama, menurut Rafik gajinya yang sekarang lebih cocok diberikan pada mereka yang belum memiliki pengalaman.
“Ada kenaikan sih tiap tahun yang besarannya tidak sama antara satu karyawan dan lainnya, karena berdasarkan penilaian,” ungkapnya.
Meski begitu, pria yang bekerja di perusahaan media ini mengungkapkan bahwa dirinya ingin kembali menawar gaji kepada perusahaan. “Belum pernah nawar sih, karena nunggu momen yang tepat,” katanya.
Berbeda dengan Rafik yang tawaran gajinya langsung dipenuhi, pengalaman berbeda justru dialami Agnes Dewi ketika melakukan negosiasi di bank tempatnya bekerja sekarang. Meski permintaannya saat negosiasi tak dipenuhi, ia menerima sebab perusahaan memberi berbagai macam tunjangan.
“Selain gaji pokok, ada uang lembur, dan uang makan. Kalau kantor yang dulu kan enggak,” ungkap Agnes.
Namun, belakangan Agnes tak puas dengan perusahaan tempatnya bekerja, sebab beban tugas yang diberikan melebihi kesepakatan awal.
Jika Agnes dan Rafik memilih untuk bernegosiasi, Mario Siswanto, 25 tahun, memilih untuk langsung menerima penawaran pertama dari perusahaan.
“Udah sesuai dengan ekspektasi. Aku juga percaya bahwa income akan mengikuti kinerja. Ternyata benar, setelah 3 bulan gaji naik. Sampai sekarang juga udah naik banyak,” tutur Mario.
Saat menerima penawaran itu, asisten manajer di sebuah lembaga pendidikan non-formal tersebut sudah menghitung kebutuhan hidup, biaya operasional, dan kebutuhan hiburan.
Begitu pun dengan Kelsi (26) yang tak melakukan negosiasi gaji ketika wawancara dengan perusahaan barunya. “Karena sudah di atas gaji aku di kantor lama,” beber strategic planner sebuah agensi di Jakarta ini.
Kelsi menceritakan bahwa selain gaji yang lebih tinggi, ia pun mendapatkan tunjangan seperti uang transportasi, dana kesehatan (reimburse obat dan kacamata), serta asuransi BPJS dan asuransi swasta.
Meski begitu, Kelsi masih menimbang-nimbang untuk melakukan negosiasi gaji jika kontrak kerjanya telah berakhir, sebab menurutnya, dengan posisi yang sama, gaji di perusahaannya sekarang lebih rendah ketimbang agensi lainnya.
Cara Negosiasi Gaji dengan Perusahaan
American Psychological Association (APA) mengakui bahwa negosiasi gaji membutuhkan keterampilan yang rumit, apalagi jika pekerjaan yang ditawarkan berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
“Padahal kita semua harus membayar tagihan, dan kita menjalani pelatihan yang ketat dan ekstensif,” ujar David Shen-Miller, asisten profesor psikologi di Tennessee State University.
Supaya gaji yang diberikan adil, tentu kita harus tahu upah layak untuk posisi kita. Caranya, coba lakukan riset untuk mencari tahu gaji rata-rata untuk posisi yang diincar. Riset itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan jejaring pertemanan Anda dan mencari tahu di internet.
Jika sudah tahu kisaran gaji, pikirkan kemampuan yang bisa Anda tawarkan kepada perusahaan Anda agar memperoleh nilai yang lebih tinggi. Tentu kemampuan Anda harus lebih dari orang lain.
Shen-Miller pun mewajibkan kita untuk melakukan negosiasi, artinya kita tak boleh langsung menerima tawaran pertama dari perusahaan, sebab gaji di awal karier Anda sangat berpengaruh terhadap penghasilan Anda selanjutnya.
Jika mereka tak setuju angka yang Anda sodorkan, mintalah waktu untuk berpikir beberapa hari. Setelah itu, Anda bisa kembali menawar alternatif lain, seperti tambahan tunjangan atau pelatihan pengembangan diri. Hal itu penting untuk meningkatkan nilai tawar Anda selanjutnya.
Recruitment Consultant Kelly Service Indonesia, Mohamad Ichwan, membeberkan bahwa umumnya kenaikan gaji yang diberikan oleh perusahaan tak lebih dari 30 persen.
“Perusahaan selalu berusaha untuk menaikan gaji karyawan tidak lebih dari 30 persen untuk menjaga keuangan perusahaan, tapi ada kasus tertentu kalau misalnya orang itu benar-benar bagus. [Kasus seperti] itu biasanya sering diputuskan sampai ke rapat manajemen,” ungkap Ichwan.
Menurut Ichwan, biasanya pekerja yang memiliki kemampuan langka lebih dipertimbangkan ketika melakukan penawaran gaji karena khawatir dia akan direbut oleh perusahaan kompetitor.
Jika perusahaan itu menolak angka yang ditawarkan, biasanya mereka akan mengganti dengan keuntungan lain, misalnya memberikan liburan gratis, upah tambahan saat perjalanan dinas, jumlah hari cuti, plafon kesehatan pekerja dan keluarga, insentif, bonus, hingga beasiswa prestasi bagi anak pekerja.
Ichwan pun menceritakan pengalamannya melakukan proses negosiasi gaji dengan calon pekerja yang memakan waktu sekitar satu bulan. Proses berlangsung alot sebab calon pekerja itu memiliki kemampuan yang sangat langka di Indonesia.
“[Saya] ngomong ke klien [perusahaan], permintaan gaji [calon pekerja] saat ini. Yang kedua, saya bilang orang ini enggak banyak di pasaran. Kalau mengulang proses rekrutmen akan memakan biaya besar, belum lagi kalau perusahaan asing dan harus mendatangkan bosnya dari luar negeri, [padahal] belum tentu yang didapat lebih baik,” tutur Ichwan.
Hal ini tentu berbeda jika kemampuan yang dimiliki pelamar banyak di pasaran, Ichwan hanya membutuhkan waktu paling lama satu minggu untuk melakukan negosiasi.
“Kalau orang seperti dia banyak di market, saya enggak terlalu fleksibel untuk menawarkan gaji ke dia. Jadi kalau dia mau, oke, kalau enggak ya sudah tinggalin. Kenapa saya berani seperti itu, karena saya punya back up banyak,” bebernya.
Sekretaris jenderal dari serikat pekerja kreatif dan media, Sindikasi, Ikhsan Raharjo, menyarankan para pekerja menggunakan wadah serikat untuk berembuk soal upah kepada perusahaan.
“Karena melalui wadah serikat pekerja, negosiasi, hasil negosiasi tersebut bisa ada jaminan secara hukum untuk kemudian bisa diterapkan, dan akan berdampaknya terhadap pekerja yang lebih banyak,” kata Ikhsan.
Ikhsan menyebutkan, biasanya serikat pekerja memiliki perjanjian kerja bersama antara pekerja dan pemberi kerja. Isi PKB itu adalah hal detail tentang lingkungan kerja, salah satunya kompensasi kerja lembur dan jaminan kenaikan gaji.
Tentu saja rembukan soal gaji kepada perusahaan pun harus dilakukan di waktu yang tepat dengan melihat kondisi keuangan perusahaan. Ikhsan pun bilang, sebagai pekerja, kita disarankan memiliki posisi tawar di perusahaan.
“Praktek take it or leave it bukan hal yang sehat di tempat kerja, dan itu mungkin terjadi jika dihadapi secara individu, karena posisi tawarnya rendah,” tandasnya.
Baca juga artikel terkait PEKERJA atau tulisan menarik lainnya Widia Primastika