Analisis Ekspresi Sandiaga Uno "Si Ganteng yang Cemberut" Menurut Pakar
Sandiaga Uno di konferensi pers deklarasi kemenangan. (Foto: Suara.com)
Uzone.id - Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto untuk ketiga kalinya mendeklarasikan kemenangannya pada Pilpres 2019, Kamis (18/4). Mengutip Tempo.co, Prabowo melakukan itu di kediamannya dan Sandiaga Uno mendampinginya.Bukan fokus ke isi pidato, netizen malah memperhatikan ekspresi Sandiaga Uno. Dalam foto dan video yang beredar di media sosial, Sandiaga Uno berdiri di samping Prabowo. Ia mengenakan kaus berkerah biru dan celana khaki.
Tangan kirinya ke belakang. Di momen berikutnya, ketika semua orang di sekitarnya mengangkat tangan kanan penuh semangat, Sandiaga Uno malah mengepal tangan dan mengangkatnya sampai dada.
Baca juga: Cegukan Gak Berhenti, Sandiaga Uno Stres?
Pakar bahasa tubuh dan mikroekspresi Monica Kumalasari mengamati gestur Sandiaga Uno dalama konferensi pers tersebut. Monica mengatakan bahwa Sandiaga Uno keluar dari baseline (ciri/kebiasaan) dr kondisi biasanya.
“Baseline-nya seperti apa? Santai, spontan, banyak senyum, penyejuk penyejuk pendukungnya saat mereka ramai beri dukungan di panggung debat,” ujar Monica.
Dari konferensi pers tersebut, Monica mencermati bahwa facial expression Sandiaga Uno terlihat sedih, takut, dan marah. Ia juga sangat tidak spontan dan tegang,” ungkap Monica.
Baca juga: Cara Mengecek Kamera Tersembunyi di Kamar Hotel
Soal tangan dilipat di belakang tubuh , Monica menyampaikan bahwa posisinya seperti ajudan atau anak buah yang siaga.
Beberapa perilaku lain yang dicermati Monica, yaitu Sandiaga Uno lbih banyak melihat ke kertas pidato Prabowo. Lalu, saat Prabowo mulai membawa UUD 45, Sandiaga Uno mulai batuk dengan menutup mulut atau buang muka ke samping kiri.
Baca juga: 5 Etika Wajib Tahu Sebelum Datang ke Onsen Jepang
Usai pidato, Sandiaga Uno menarik napas panjang dan tidak ada adegan salam seperti biasa. Ia juga tidak ikut meneriakkan takbir.
Monica menyimpulkan, “Sandiaga Uno dalam tekanan berat. Tekanan atas apa? Bisa karena otoritas Prabowo, bisa karena tekanan pihak luar yang terlibat dalam pendanaan ajang pilpres, bisa karena shock hasil quick count yang beda versi.”