Amnesty International Desak Remaja di Jambi yang Aborsi Dibebaskan
Remaja perempuan berusia 15 tahun di Jambi berinisial WA, divonis penjara selama 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian pada 19 Juli 2018 karena melakukan aborsi. WA melakukan aborsi karena ia hamil akibat diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri.
Menanggapi kasus tersebut, Amnesty International Indonesia dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyerukan kepada pihak berwenang Indonesia untuk segera membebaskan WA dari penjara dengan tanpa syarat."Kami juga menyerukan kepada otoritas Indonesia untuk mendekriminalisasi aborsi dalam segala situasi sehingga tidak ada perempuan atau anak perempuan yang dikenakan hukuman apa pun karena melakukan aborsi," ujar Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangan resmi yang diterima kumparan, Rabu (1/8)
Organisasi HAM tersebut juga meminta adanya akses ke praktik aborsi yang aman dan legal untuk kasus-kasus pemerkosaan, serangan seksual atau inses, kehamilan yang menimbulkan risiko bagi kehidupan dan kesehatan perempuan, anak perempuan yang sedang hamil, dan dalam kasus kerusakan janin yang parah atau fatal.
"Indonesia memiliki kewajiban hukum di bawah hukum HAM internasional untuk memastikan korban pemerkosaan atau inses dapat memiliki akses yang tepat terhadap aborsi yang aman dan legal," jelasnya.
"Terlebih lagi, penolakan layanan aborsi kepada perempuan atau anak perempuan yang telah hamil akibat pemerkosaan, kekerasan seksual, atau inses adalah pelanggaran hak untuk terbebas dari penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi, ataupun merendahkan martabat," imbuh Usman.
Diketahui WA yang masih berusia 15 tahun mengandung setelah diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri. Ia lalu melakukan aborsi secara sembunyi-sembunyi.
Pada Juni 2018, polisi menyelidiki laporan dari penduduk setempat yang menemukan janin di sebuah perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Muara Tembesi, Batanghari. Polisi lalu menangkap WA beserta saudara laki-lakinya. Ibu WA juga ditangkap karena diduga membantu proses aborsi.
Saudara laki-laki WA yang berusia 18 tahun, mengakui bahwa dia telah memperkosa saudari perempuannya dan mengancam akan mencelakakan si adik apabila dia menolak. Baik WA maupun kakak kandungnya diproses hukum secara terpisah. WA sendiri divonis selama 6 bulan penjara karena melakukan aborsi.
Sedangkan kakak kandung WA divonis Pengadilan Distrik Muara Bulian selama dua tahun penjara karena melakukan pelecehan seksual. Baik WA dan kakak kandungnya juga wajib mengikuti pelatihan tiga bulan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Usman mengatakan, aborsi umumnya dilarang dan yang melanggar dapat dihukum sesuai peraturan perundang-undangan. Namun, berdasarkan Pasal 75 (2) UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009, aborsi diizinkan jika ada indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Akan tetapi, Pasal 76 UU Kesehatan mengatur aborsi hanya dapat dilakukan dalam enam minggu pertama kehamilan dengan persetujuan dari wanita hamil oleh lembaga medis bersertifikat yang ditunjuk oleh negara.
Usman menilai, kesadaran perempuan dan anak perempuan dari komunitas miskin dan terpinggirkan terhadap aturan pengecualian hukum terhadap aborsi tersebut masih sangatlah rendah.
Terlebih, terdapat stigma berkaitan dengan aborsi dan tembok sosial lain yang harus dihadapi saat mengakses layanan kesehatan membuat perempuan dan anak perempuan cenderung mencari cara aborsi yang sembunyi-sembunyi dan tidak aman.
"Bahkan mereka secara mandiri dengan gegabah menggugurkan kandungannya sendiri dengan cara yang tidak aman meskipun secara legal diperbolehkan melakukan aborsi. Hal inilah yang terjadi pada anak perempuan 15 tahun di Muara Tembesi, Jambi," tutup Usman.