5 Masalah Generasi Millennial yang Membuat Mereka Rawan Dipecat
Topik tentang generasi millennial selalu menarik untuk dibahas. Pasalnya, mereka yang lahir di antara tahun 1980-2000 inilah yang sekarang menjadi generasi berusia produktif. Mereka adalah para profesional muda yang, dengan karakteristik uniknya, menimbulkan gelombang perubahan di seluruh dunia.
Sayangnya, perubahan itu tidak selalu baik. Sudah banyak cerita tentang kaum millennial yang membuat para senior dan bos mereka frustrasi, sehingga tak ada pilihan selain melepaskan mereka. Berikut ini beberapa hal yang sering dikeluhkan orang tentang profesional dari generasi millennial.Sulit berkomunikasi
Komunikasi adalah masalah lama yang menghantui semua profesional. Tapi masalah ini semakin meruncing pada sebagian generasi millennial. Mungkin karena generasi ini tumbuh di tengah doktrin-doktrin semacam, “Tentukan sendiri masa depanmu!” dan “Jadilah dirimu sendiri!” sehingga mereka merasa lebih enggan membaur dengan sekitar.
Millennial adalah generasi yang cerdas dan kreatif. Mereka tak suka menjadi pengikut, lebih suka menjadi individu yang bebas. Memang ada baiknya mereka diberikan kebebasan, hanya saja kebebasan itu harus tetap disertai dengan kemampuan bekerja sama. Baik dalam konteks pekerjaan ataupun di luar pekerjaan.
Sisi baiknya, millennial tidak takut menerima tugas yang menantang. Bila kita bisa menemukan keseimbangan yang tepat antara kebebasan dan tanggung jawab tersebut, potensi generasi ini bisa didorong secara maksimal.
Masalah kepercayaan diri
Kepercayaan diri yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah, dua-duanya bisa jadi masalah. Dan dua-duanya merajalela di antara generasi millennial.
Millennial adalah generasi hebat. Ditempa kualitas pendidikan yang terus meningkat, kelas-kelas akselerasi dengan program canggih, serta iklim kompetitif yang kuat. Generasi ini memunculkan para overachiever—superstar di bidangnya masing-masing, dan mereka sadar akan kemampuannya.
Merasa paling hebat dan tahu segalanya, mereka menuntut untuk diperlakukan spesial.
Bila tidak diredam, kepercayaan diri ini bisa memunculkan sifat-sifat negatif. Mereka jadi tidak hormat pada orang yang lebih tua, bahkan tidak hormat pada atasan. Merasa paling hebat dan tahu segalanya, mereka menuntut untuk diperlakukan spesial.
Di sisi lain, yang tidak termasuk overachiever menjadi minder, padahal bisa jadi sebenarnya pencapaian mereka tidak buruk. Mereka terlalu silau dengan pencapaian orang lain sehingga menganggap diri sendiri sebagai orang gagal. Akibatnya bisa ditebak: stres, tidak bersemangat, dan takut untuk berkarya.
Kedua masalah kepercayaan diri bisa kita kurangi dengan cara belajar hidup sederhana. Daripada memusingkan apa yang tidak kita miliki, lebih baik kita fokus pada memberi dan mengubah diri jadi lebih baik dari hari ke hari. Selain itu bila sudah jadi orang hebat, jangan lupa pada ilmu padi: semakin merunduk artinya semakin berisi.
Merusak tradisi
Generasi millennial benci status quo. Mereka selalu ingin berinovasi, menciptakan sesuatu yang baru, dan membuat kehidupan lebih baik. Apalagi mengingat teknologi dan informasi kini begitu mudah diakses, mereka suka menantang apa yang ada di hadapan mereka dan bertanya, “Apakah tidak ada cara yang lebih baik?”
Mengapa harus datang ke kantor bila pekerjaan bisa dikirim dari via internet? Mengapa harus kuliah bila kemampuan saya lebih baik dibanding mereka yang punya ijazah? Mengapa tidak semua perusahaan memberikan asuransi kesehatan bagi karyawan? Ini contoh kecil tradisi yang “dirusak” oleh mereka.
Keinginan untuk membuat perubahan dapat menciptakan hubungan yang kurang harmonis, baik antara si millennial dengan karyawan lain atau dengan perusahaan. Tapi perubahan itu sendiri tidak selalu buruk.
Kuncinya ada pada pikiran yang terbuka. Kaum millennial harus legawa bila ide mereka tidak diterima. Sebaliknya, generasi yang lebih tua tidak boleh takut pada perubahan, bila memang itu bisa mendatangkan dampak positif yang jelas.
Tidak takut kehilangan pekerjaan
Kepercayaan diri millennial terhadap kemampuan teknis membuat sebagian dari mereka tidak takut mencari pekerjaan baru. Ketika ada sesuatu yang tidak sesuai keinginan, mereka mudah saja berkata, “Pekerjaan ini tidak cocok dengan saya,” dan mulai melirik perusahaan lain.
Masalah “kutu loncat” marak terjadi pada millennial yang masih berusia muda, terutama alumni almamater ternama. Lebih parah lagi di dunia startup, sudah jadi hal lumrah bila seseorang berganti pekerjaan setiap tahun. Ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya yang sering bertahan di satu pekerjaan saja sampai pensiun.
Berganti pekerjaan itu tidak ada salahnya. Tapi kita juga harus mengerti pentingnya menyesuaikan diri. Bila kita menuntut kebijakan fleksibel dari perusahaan, kita juga harus siap bersikap fleksibel terhadap tuntutan pekerjaan. Adaptasi adalah bagian penting dari profesionalisme.
Kelakuan buruk
Ini bukan masalah yang hanya terjadi pada generasi millennial. Tapi di khusus untuk generasi ini, kelakuan buruk bisa terjadi di mana saja dan terekspos begitu luas.
Sebagian orang mungkin mengira bahwa kelakuan di internet atau media sosial tidak punya konsekuensi. Padahal itu dapat menjadi harimau yang mendatangkan mimpi buruk.
Satu saja kelakuan buruk karyawan tersebar ke publik, sudah cukup menjadi bencana bagi perusahaan. Dan bila itu terjadi, tidak ada jalan lain kecuali memutuskan ikatan kerja.
Lebih parah lagi, kelakuan buruk kini tidak hanya bisa terjadi di dunia nyata. Sebagian orang mungkin mengira bahwa kelakuan di internet atau media sosial tidak punya konsekuensi. Padahal itu dapat menjadi harimau yang mendatangkan mimpi buruk.
Tidak hanya reputasi perusahaan, reputasi pribadi pun dapat tercoreng. Karier seseorang bisa hancur hanya karena satu post Twitter, dan sudah banyak contoh kasusnya.
Attitude before aptitude. Keahlian bisa dilatih, tapi kepribadian sangat sulit diubah. Bila harus memilih antara superstar yang bermasalah dan orang biasa yang taat perintah, kemungkinan seorang pemimpin akan memilih yang kedua. Lagipula superstar bermasalah belum tentu mengeluarkan keahliannya seratus persen.
Bukan berarti keahlian sama sekali tidak ada harganya. Idealnya, seorang profesional harus memiliki keahlian dan kepribadian yang sama-sama berkualitas. Maka dari itu millennial, yang—umumnya—unggul di keahlian, harus mau berpikiran terbuka dan terus belajar menjadi pribadi yang lebih baik.
(Diedit oleh Iqbal Kurniawan)
This post 5 Masalah Generasi Millennial yang Membuat Mereka Rawan Dipecat appeared first on Tech in Asia.
The post 5 Masalah Generasi Millennial yang Membuat Mereka Rawan Dipecat appeared first on Tech in Asia Indonesia.